PANGGIL DIA IBU : EPISODE 2

Lanjutan Cerbung Panggil Dia Ibu : Episode 2 

Dan akhirnya perempuan itu pun memberikan tissue untuk Wawan yang air matanya terus menetes. Saat ada sebuah tangan dah tissue ada di hadapannya, Wawan kaget dan segera menoleh ke samping kirinya.

“Ambillah Mas, untuk menghapus air matanya.” Ucap perempuan itu dengan suara lembut.
“Emmm… terima kasih. Aduh, saya jadi malu nih. Maaf ya Mbak.” Wawan kemaluan sendiri setelah disadarinya bahwa dia memang benar-benar menangis.
“Saya sering mendengar pepatah. Ketika masalah begitu berat dan tidak bisa dihadapi, terkadang laki-laki pun menempuhnya dengan cara menangis.”
“Ya, mungkin seperti itu.”
“Ambillah Mas, saya paling tidak tega melihat laki-laki menangis seperti ini. Saya tahu, laki-laki pun punya alasan yang kuat mengapa dia sampai menangis.”

Wawan terdiam, dia tidak menanggapi ucapan perempuan yang ada di sebelahnya itu. Sambil menghapus air matanya dengan tissue pemberian perempuan itu, Wawan menyembunyikan wajahnya ke dinding kereta. Sungguh, Wawan benar-benar malu. Dia terlihat seperti sedang rapuh. Hingga beberapa saat setelah itu handphone Wawan yang ada di saku celananya berdecit-decit mengagetkannya. Ada panggilan masuk. Itu pasti dari Elmeira, putrinya.

“Sebentar ya, ada panggilan masuk.” Dengan sopan Wawan mohon izin kepada perempuan itu.
“Oh, silakan Mas.” Jawab perempuan itu dengan senyum seadanya. Dan benar saja setelah dilihat, itu memang dari Elmeira, Wawan segera mengangkatnya.
“Assalamua’laikum Nak. Kamu sudah pulang?”
“Sudah Yah. Ini sedang menuju stasiun Juanda. Ayah sudah sampai mana?”
“Ayah sudah sampai…” Sebentar kemudian Wawan menoleh ke kaca kereta. Dia melihat keluar. Sudah sampai mana perjalanan kereta. “Mmm… sepertinya mau masuk Manggarai deh.”
“Ya udah nggak apa-apa. Aku nunggu di lantai bawah stasiun Juanda ya Yah. Deket pintu masuk. Soalnya berat nih bawa barang banyak. Habibi nggak ikut Yah?”
“Adik kamu kan sedang hunting sama rekan railfans lainnya. Belum pulang dia.”
“Ya udah, Aku tunggu ya Yah. Assalamua’laikum.”
“Waalaikum salam.”

Klik. Wawan pun segera memutuskan hubungan komunikasinya dengan Elmeira putrinya.

“Yang telepon barusan itu anaknya ya Mas?” Tiba-tiba saja perempuan yang ada di samping Wawan bertanya.
“Iya, dia anak kandung saya. Ini mau jemput.”
“Oh iya, kita belum kenalan. Saya Calista.”
“Wawan.”

Setelah berkenalan dan berjabat tangan, Wawan langsung menundukkan kepalanya. Dia tidak ingin lama-lama bertatapan dengan perempuan. Karena bagaimanapun hingga saat ini walaupun sudah bercerai, dia masih mengharapkan kembali kepada Yulia. Perempuan yang sudah dinikahinya itu tetap mengisi ruang yang kosong di hatinya. Walaupun dulu Yulia sering memperlakukannya dengan kasar dan semena-mena, namun hingga detik ini Wawan masih mencintainya.

Seperti awal bertemu dengan Yulia, hatinya sudah tertambat kepada perempuan itu. Di saat banyak laki-laki menginginkan Yulia, Wawan langsung bertindak cepat agar Yulia tidak jatuh ke pelukan laki-laki lain. Itulah alasannya dulu mengapa Wawan berani menikah di usia muda, karena dia tidak mau kehilangan Yulia. Dia takut Yulia keburu dipinang laki-laki lain.

Dan hingga saat itu Wawan berjanji kepada Yulia, Allah dan dirinya sendiri bahwa apapun yang terjadi, dia akan tetap mencintai Yulia sampai kapanpun. “Yulia… di mana kamu sekarang sayang. Aku ingin ketemu sama kamu. Aku kangen. Aku ingin rujuk Yulia.”

Tanpa terasa air mata Wawan meleleh lagi dan untuk yang kedua kalinya Calista, perempuan itu menyodorkan kembali tissue di hadapan Wawan.

“Pasti Mas Wawan ini punya masalah yang berat, nangisnya terus-terusan. Ini ambil lagi tissuenya.”
“Aduh, terima kasih Mbak. Maaf nih, melow banget jadinya. Terserah mau dibilang cengeng juga.”
“Nggak koq. Mungkin dengan menangis, beban yang ada di dalam dada bisa sedikit terangkat.
“Iya. Terima kasih ya Mbak.”

Commuterline tujuan Jakarta Kota pun akhirnya tiba di stasiun Manggarai. Semua pintu kereta segera dibuka. Dan di saat itulah Wawan pun bangkit dari duduknya.

“Mas Wawan turun di stasiun Manggarai.”
“Emmm… iya. Iya.” Jawab Wawan agak bingung dan spontan begitu saja. “Mbaknya turun di mana?”
“Saya mah masih jauh, paling ujung. Jakarta Kota.”
“Oh ya sudah. Saya turun di sini ya Mbak, terima kasih atas tissuenya. Assalamua’laikum.”
“Waalaikum salam.”

Wawan lekas-lekas turun dari kereta. Ya. Dia sengaja turun di stasiun Manggarai agar terhindar dari Calista, perempuan itu. Dia tidak ingin lama-lama mengobrol dengan perempuan lain. Khawatir terjadi sesuatu yang tidak diharapkan nantinya.

BERSAMBUNG ke episode berikutnya…

Hak Cipta Milik : Fakhrul Roel Aroel Hidayat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *