PANGGIL DIA IBU : EPISODE 3

Lanjutan Cerbung Panggil Dia Ibu : Episode 3

 

Elmeira langsung memeluk Wawan ketika mereka bertemu di gate out lantai bawah stasiun Juanda. Setelah seminggu berada di Bali karena acara dari sekolahnya, akhirnya Elmeira pulang ke Jakarta.

“Ayaaahhh, Elmei kangen sama Ayah.” Pelukan Elmeira kian dipererat.
“Ayah juga kangen kamu Nak. Syukurlah kamu pulang dalam keadaan selamat dan baik-baik saja. Bagaimana di Bali, enak tidak?”
“Alhamdulillah enak Yah.”

Untuk beberapa saat lamanya mereka berpelukan saling melepas kerinduan. Padahal cuma seminggu, bagaimana kalau sebulan atau tahunan. Begitulah Elmeira, dia begitu sayang dengan Ayahnya. Bertemu dengan Ayahnya sudah seperti bertemu dengan pacar.

“Waduh, perasaan waktu berangkat kamu cuma bawa satu tas deh. Itupun kecil doang. Tapi ini koq pulangnya jadi banyak begini.” Ucap Wawan setelah melepaskan pelukannya kemudian melihat beberapa tas yang dibawa oleh Elmeira. “Kamu beli apa di sana, Nak?”
“Elmei beli oleh-oleh lah buat Ayah dan juga Habibi pastinya. Ada makanan, baju, hiasan. Pokoknya banyak deh.”
“Ckckckckck… Elmei Elmei.”
“Si ganteng nan rupawan Habibi dataaang.”

Tiba-tiba saja dan entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja Habibi adiknya Elmeira datang dan langsung berdiri di samping Elmeira. Terang saja, Wawan dan Elmeira jadi kaget. Koq Habibi ikut jemput juga. Karena menurut keterangan dari Wawan, Habibi belum pulang hunting bersama rekan-rekan sesama railfans.

“Lho… katanya kamu masih…” Wawan masih agak bingung.
“Akting dikit nggak apa-apa kan Yah. Biar surprise. Kejutan untuk si teteh yang baru pulang dari Bali.”
“Ihhh, kamu tuh ya. Udah boongin orangtua, dosa lo.” Elmeira yang menimpali.
“Hehehe, Ayah aja nggak marah teh. Masa teteh marah sih. Nanti cantiknya ilang lo teh.”
“Abib mulai rese nih ya.”
“Abib dibeliin oleh-oleh apa teh dari Bali. Perawan Bali bukan teh. Hihihi.”
“Hussshhh, masih kelas delapan. Dilarang pacaran dulu sama Ayah. Fokus belajar.”
“Ahhh, kaya nggak punya pacar saja. Apa perlu Abib bilangin ke Ayah nih.”
“Abib. Ihhhh.”
“Udah, udah. Jangan pada ribut ah. Nanti keburu malem. Ayo kita pulang. Abib, kamu bantuin teteh kamu bawain tas-tasnya ya.”
“Oke Ayah. Siap.”

Akhirnya mereka pun segera masuk ke gate in untuk ke lantai atas dan menunggu kereta tujuan Bogor di sana. Masing-masing membawa kantung belanjaan yang dibawa Elmeira dari Bali. Ketiganya nampak tersenyum dan tertawa-tawa dengan lepas. Terlebih Habibi, paling seneng mengerjai Elmeira kakaknya.

Tanpa mereka sadari, dari balik dinding stasiun ada sepasang mata memperhatikan kejadian itu sedari tadi. Tepatnya dari pertama Elmeira bertemu Wawan dan langsung berpelukan. Kedua mata itu nampak sembab. Bahkan sudah menggenang air di sana yang siap ditumpahkan. Wajahnya terlihat sangat sedih. Ya, wajah seorang perempuan. Yulia.

“Elmeira… Habibi. Sekarang kalian sudah besar. Ibu kangen sama kalian. Ibu ingin memeluk kalian berdua. Seperti dulu, ketika kalian masih kecil. Elmei… Abib… Maafkan Ibu Nak. Ibu sudah berdosa sama kalian. Ibu juga sudah berdosa sama Ayah kalian.”

Kang Wawan… Aku kangen sama akang. Aku banyak salah dan dosa sama akang. Aku minta maaf. Dulu aku sudah durhaka, dulu aku sudah berlaku kejam sama akang. Sebelum bulan puasa ini, aku ingin minta maaf sama akang. Aku ingin bersimpuh di kaki Kang Wawan. Aku sudah meninggal Elmeira dan Habibi begitu saja. Kang Wawan. Akang…

Yulia tak kuasa menahan air matanya. Dia pun menangis sejadi-jadinya. Melihat kedua anaknya sudah besar dan tumbuh menjadi remaja, Yulia merasa sangat bersyukur dan bahagia. Berarti, Wawan suaminya berhasil dan sukses, merawat Elmeira dan Habibi dengan baik. Secara, ketika Yulia meninggalkan Wawan saat itu, ketika Wawan tidak punya pekerjaan tetap dan tinggal di sebuah kontrakan.

Kalau dipikir, Yulia memang tega saat itu. Meninggalkan Wawan suaminya dalam keadaan tidak berdaya. Sifat keibuan dan kepekaannya pada saat itu entah pergi kemana. Ratapan Elmeira dan Habibi kecil tidak dihiraukannya sama sekali. Malah yang ada, Yulia kedua anaknya itu diperlakukan dengan kasar.

“Ibu… aku mau sama Ibu. Ibu jangan pergi.”
“Lepaskan Ibu Elmeira. Kamu sama Ayah kamu saja.”
“Ibu, Ibu. Elmei sayang sama Ibu. Ibu di sini aja.”
“Nggak mau. Sana, sana. Jauh-jauh.”
“Yulia… jangan pergi sayang. Kasihan anak-anak. Masa kamu tega sih. Kamu Ibu kandungnya.”
“Udah deh Kang, nggak usah banyak omong. Pokoknya mulai saat ini, aku minta cerai!”
“Apa?!”
“Urus tuh anak-anak kamu yang cengeng itu. Kamu Ayahnya. Kamu yang bertanggung jawab.”
“Yulia…”
“Pokoknya aku minta cerai sekarang juga. Titik!”

Seketika Yulia menjatuhkan dirinya ke lantai stasiun Juanda lantai bawah dengan air mata yang terus menganaksungai dikedua pipinya. Bila mengingat ke masa itu, Yulia benar-benar merasa bodoh, tolol, kejam dan juga berdosa.

BERSAMBUNG ke episode berikutnya…

Hak Cipta Milik : Fakhrul Roel Aroel Hidayat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *