PANGGIL DIA IBU : EPISODE 6

Lanjutan Cerbung Panggil Dia Ibu : Episode 6

Bersama penumpang yang lain, Wawan menunggu kereta tujuan Jakarta Kota di stasiun Bojonggede. Matahari belum terlihat, cuaca masih dingin. Langit di atas sana masih bersemu malam. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat Wawan untuk pergi beraktivitas. Peron dua dan tiga stasiun Bojonggede pagi itu nampak sudah disesaki oleh banyak penumpang. Mulai dari pekerja kantoran sampai ke anak sekolah, berbaris rapi di belakang garis aman warna kuning.

 

Tidak di bulan-bulan biasa ataupun bulan Ramadhan seperti sekarang ini, yang naik commuterline tidak pernah berubah. Selalu penuh. Puasa tidak mereka jadikan halangan untuk beraktivitas. Sama halnya yang sedang dilakukan Wawan pagi ini. Tadinya dia tidak mau pergi ke tempat aktivitas, namun karena di sekolah nanti akan ada rapat guru-guru jam tujuh pagi, dia harus masuk dan tidak boleh bolos. Sebagai penjaga sekolah, dia harus datang lebih pagi, seperti petugas cleaning service atau office boy pada umumnya.

 

Dari jalur dua arah selatan, tiba commuterline tujuan Jakarta Kota, semua penumpangnya segera bersiap-siap. Dan saat pintu kereta dibuka, semua langsung berhamburan masuk. Ada yang sibuk menuju ke persambungan kereta untuk bersandar, ada yang sibuk mencari celah untuk duduk. Namun ada juga yang sibuk mencari-cari space tempat duduk walaupun sedikit alias nyempil. Karena ketika kereta tiba, tempat duduk sudah terisi semua. Ditempati oleh penumpang Bogor dan Cilebut pastinya.

 

Wawan memilih berdiri di depan kursi prioritas dekat persambungan. Dan setiap hari memang seperti itu, selalu berdiri. Sangat jarang mendapatkan tempat duduk. Walaupun duduk, itu mungkin sedang kebetulan saja. Sebentar kemudian, kereta pun perlahan diberangkatkan menuju Jakarta. Situasi di dalam kereta langsung separuh penuh. Menyisakan sedikit untuk penumpang stasiun Citayam nanti pastinya. Karena biasanya, dorongan penumpang stasiun Citayam sedikit dahsyat agar dapat masuk ke dalam rangkaian kereta.

 

Wawan sendiri nantinya akan turun di stasiun Tebet. Sengaja dia tidak berdiri dekat pintu, toh banyak juga yang turun di stasiun tersebut. Lagipula, Wawan tidak mau kedorong-dorong oleh penumpang yang keluar masuk dan yang ada di sekitar pintu.

 

Saat Wawan sedang asyik berdiri sambil memegang handle pegangan yang ada di atas, tiba-tiba saja pandangannya terantuk kepada seorang perempuan tentunya sudah dia kenal. Perempuan itu berdiri dalam satu barisan namun sedikit jauh jaraknya. Mungkin sekitar tujuh meter. Wawan tersentak kaget. Kedua matanya langsung ditajamkan. “Yulia… astagfirullahaladzim. Iya, itu kan Yulia.” Bisik Wawan di dalam hatinya.

 

Karena yakin itu adalah perempuan yang sampai saat ini masih dicintainya, Wawan pun segera berpindah tempat duduk dan menghampiri perempuan yang diduganya Yulia itu. Beberapa penumpang sempat memberikan ruang dan tempat untuk Wawan.

“Yulia. Ya ampun. Ini aku.” Wawan langsung menyapa, mungkin setengah berteriak karena tidak menyangka akan bertemu mantan istrinya di kereta. Dijadwal pemberangkatan yang sama pula. Sementara dengan Yulia sendiri langsung kaget ketika melihat siapa yang ada di depan matanya.

Agar lebih enak dan nyaman mengobrolnya, Wawan mengajak Yulia turun di stasiun Citayam. Karena bila ngobrol di dalam kereta, suasananya tidak enak dan kurang menyenangkan. Berisik dan ramai. Selain itu akan banyak telinga yang mendengar pembicaraan mereka. Dan alhamdulillahnya Yulia mau diajak turun di stasiun Citayam.

“Kamu bagaimana kabarnya Yul?” Tanya Wawan memulai pembicaraan.
“Aku baik-baik saja Kang. Kang Wawan sendiri bagaimana?”
“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja. Nggak nyangka ya kita ketemu di kereta. Kamu mau kemana Yulia? Sekarang kamu tinggal di mana?” Wawan memberondong Yulia dengan beberapa pertanyaan.
“Kang Wawan masih seperti yang dulu ya wajahnya. Tidak berubah. Tetap tersenyum dan menyenangkan.” Bukannya menjawab pertanyaan, Yulia malah membicarakan masalah yang lain. “Kang Wawan sendiri mau kemana?”
“Aku mau berangkat kerja Yul. Tepatnya bukan ke kantor, tapi ke sekolah.”
“Kang Wawan sekarang menjadi guru?”
“Bukan Yul. Aku sebagai penjaga sekolah di daerah Tebet. Aku yang pegang kunci sekolah. Ya alhamdulillah. Walaupun pekerjaan aku sekarang seperti ini, tapi aku bahagia. Bisa membesarkan dan menyekolahkan anak-anak kita. Elmeira dan Habibi.”

Saat menyebutkan nama Elmeira dan Habibi, Yulia langsung menundukkan wajahnya. Seperti malu bahkan mungkin sedih.

“Yulia… kamu kenapa? Ada yang salah dengan kalimatku?”
“Tidak Kang. Aku hanya sedih mengapa dulu…”
“Yulia, kejadian itu sudah lama lewat. Insya allah aku sudah melupakannya.”
“Tapi aku nggak bisa Kang. Aku yang sudah menghancurkan semuanya.” Yulia mulai terisak tangis. Terbesit di hati, ingin sekali Wawan memeluk Yulia seperti dulu di saat sedang sedih seperti ini. Namun hal itu tidak mungkin dia lakukan. Selain mereka bukan suami istri lagi, ini adalah bulan Ramadhan. “Aku sudah jahat sama akang. Aku sudah memperlakukan Kang Wawan sangat kasar waktu dulu. Aku…”

Yulia tak sanggup meneruskan kata-katanya. Air matanya sudah terlanjur pecah membanjiri pipinya.

“Aku minta maaf ya Kang. Aku banyak salah sama Kang Wawan.” Yulia belum sanggup untuk mengangkat wajahnya dan menatap Wawan. Rasanya, malu itu hingga saat ini masih tebal dan sepertinya tidak akan pernah hilang.

Sudahlah Yulia. Jangan terus menangis. Tanpa kamu minta pun, aku pasti sudah memaafkan kamu. Seorang laki-laki yang benar-benar tulus dan ikhlas mencintai seorang perempuan, pasti akan dengan ridho, mau memaafkan kesalahan perempuan yang dicintainya itu. Seberapa menyakitkanpun perlakuannya, seberapa buruk pun sikapnya. Karena di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna. Semua pasti punya salah, dosa dan khilaf. Termasuk aku Yulia.

“Subhanallah Kang Wawan…” Seketika, Yulia mengangkat wajahnya dan menatap Wawan.

BERSAMBUNG ke episode berikutnya…

Hak Cipta Milik : Fakhrul Roel Aroel Hidayat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *