Belenggu Roker Rawabuntu : Kami Bukan Anjing

Benak   sebagian   orang   berasosiasi   dengan  “tulang”   ketika   mendengar   kata “anjing”; namun ada pula yang menghubungkannya dengan kata “RANTAI”.
Rantai inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini.Sekitar dua minggu terakhir tampak kesibukan baru di Stasiun Rawabuntu saat announcer mengumumkan bahwa kereta akan memasuki stasiun. Para petugas  keamanan stasiun sontak membentangkan rantai menutup jalur penyeberangan  antar-peron. Ritual baru ini sempat membuat penulis terheran-heran.

Tujuannya   memang   baik,   mencegah   pengguna   jasa   memaksakan   diri  menyeberangi rel saat kereta menjelang masuk stasiun. Pemaksaan diri ini tak  lepas   dari   pengaturan   jadwal   yang   kurang   bijaksana,   sehingga   jeda   waktu  kedatangan kereta bisa sampai 20 – 30 menit, yang pada “jam kejar presensi” pada  pagi hari menyebabkan penumpukan penumpang di stasiun.

Sebagai contoh, bila tertinggal KA 1927 jadwal 06:17 di Rawabuntu, maka “para  pemburu   presensi”   harus   menunggu   KA   1931   jadwal   06:38,   itu   pun   dengan  asumsi   tak   ada   keterlambatan   atau   gangguan.   Perhatikan   bahwa   nomor   KA  melompat dari 1927 ke 1931, tanpa 1929, karena KA 1929 tidak mengangkut  penumpang di Rawabuntu. KA 1929 standby sejak pagi pukul 04:00 di Stasiun  Sudimara yang  posisinya di  timur  Rawabuntu mengarah  ke Tanah Abang, dan  berangkat   pukul   06:35   dengan   okupansi   longgar.   Sebuah   pengaturan  keberangkatan yang tidak bijak dan cenderung diskriminatif.

Pembentangan   rantai   dengan   tujuan   menghalangi   orang   menyeberangi   rel  sebenarnya tidak efektif, karena  rantai  yang terhubung dengan dua tiang di  kedua ujungnya itu menjuntai lemah hanya sekitar 20 cm dari permukaan tanah.
Bila ada yang nekat, tak sulit melangkahi bentangan rantai itu.

Secara pribadi ada rasa sakit hati dengan perlakuan ini, “Kok hanya sebatas rantai anjing yang dipasang untuk mengamankan kami?” Dengan pendapatan  Rp 2,7 triliun pada tahun 2017, PT KCI mengamankan kami hanya dengan seutas  rantai? Sungguh sangat ironis. “Kami Bukan Anjing”, demikian suara hati kami  setiap kali melihat rantai itu dibentangkan.

Jika di stasiun lain bisa dibangun underpass atau JPO (Jembatan Penyeberangan  Orang), mengapa di Rawabuntu hanya sebatas rantai ?

Beberapa   kali   kami   menemui   para   petinggi   perusahaan   sepur   negara   ini,  mempertanyakan jadwal diskriminatif KA 1929 dan kondisi Stasiun Rawabuntu,  namun jawaban yang kami dapat sangatlah plastis dan klise.

Berbeda dengan kebanyakan stasiun, jalur penyeberangan antar-peron di Stasiun  Rawabuntu tidak terletak di dekat gerbang masuk stasiun, melainkan berjarak 4  gerbong (sekitar 80 meter). Kondisi ini menyebabkan “para pemburu presensi”  rela   berlari   menerjang   apa   pun   demi   bisa   terangkut   kereta,   terhindar   dari  pemotongan   upah   maupun   pemecatan.   Seutas   rantai   yang   dibentangkan  terjuntai   lemah   bukanlah   halangan   bagi   “pemburu   presensi”.   Maka   bila   PT  Kereta Commuter Indonesia sungguh berniat mengamankan kami, para pembayar  jasa   yang   telah   menghasilkan   pendapatan   Rp   2,7   triliun,   wujudkanlah  pembangunan underpass atau JPO di Stasiun Rawa Buntu.

Naskah : Puji Harto & Che-AW

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *