COMMUTERLINE LOVE STORY : EPISODE 16

Lanjutan Cerbung Commuterline Love Story : Episode 16

 

Commuterline tujuan Tanah Abang siang itu lumayan penuh. Namun alhamdulillah, Annisa dan Pak Abdur Rahman dapat duduk. Sepanjang perjalanan, Annisa menceritakan perihal Pak Arrahman Putra Papinya yang saat ini menurut informasi dari Bi Dedeh sedang melakukan aksi bunuh diri lagi. Alasannya sudah jelas, semua karena pekerjaan. Pak Abdur Rahman mendengarkan cerita Annisa cukup tersentuh dan sedih. Di jaman sekarang, aksi bunuh diri masih cukup marak terjadi. Walaupun sebenarnya dilarang agama dan dosa, namun kenyataannya hal itu sering dilihat dan didengar di sekitar kita. Alasannya macam-macam. Mulai dari ditinggal menikah pacar, sampai kepada kalah tender hingga miliaran rupiah.

Kasus yang menimpa Pak Arrahman Putra ini boleh dikatakan karena masalah pekerjaan. Dan karena tidak punya cara lain, jalan pintas pun ditempuh. Padahal Annisa sudah memperingatkan berkali-kali kepada Papinya itu agar tidak melakukan hal itu lagi. Masih banyak cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Bunuh diri itu sangat tidak masuk akal dan merugikan diri sendiri. Memang, dengan cara itu semua permasalahan langsung terselesaikan. Namun urusan dengan Yang Maha Kuasa, tidak selesai sampai di situ. Justru dengan melakukan hal itu, dia harus berhadapan dengan sang khalik untuk diminta pertanggungjawabannya. Masih diberikan umur tapi tidak disyukuri.

Namun ada yang aneh. Saat berulang kali Annisa menyebutkan nama Papinya, Arrahman Putra, Pak Abdur Rahman senantiasa mengkerutkan dahinya. Seperti ekspresi seseorang yang pernah tahu atau mengenal dengan nama itu. Namun Pak Abdur Rahman belum berani menanyakan hal itu kepada Annisa. Pak Abdur Rahman membiarkan Annisa cerita sampai selesai. Karena setelah didengar, kasihan juga Papinya Annisa. Hidupnya langsung terjatuh setelah kematian istrinya dan tempatnya bekerja bangkrut.

“Saya turut prihatin Dik Nissa.”
“Terima kasih Pak Abdur.”
“Jadi sekarang mau langsung pulang menemui Papi nih?”
“Iya Pak, saya khawatir dengan keadaan Papi saya.”
“Maaf saya mau tanya sedikit. Tadi nama Papinya siapa? Arrahman… Mmmng…”
“Arrahman Putra Pak.”
“Nah itu dia. Nama itu mengingatkan saya kepada seseorang.”
“Pak Abdur kenal dengan Papi saya?”
“Sepertinya begitu. Namanya saja persis dengan teman kuliah saya.”
“Wahhh jangan-jangan. Sebentar. Kebetulan saya punya fotonya.”

Annisa segera membuka tasnya dan mengambil handphonenya. Dia segera membuka galeri dan melihat beberapa foto yang ada. Setelah mencari dan mendapatkan foto Papinya, Annisa langsung menunjukkannya kepada Pak Abdur.

“Ini foto Papi saya Pak Abdur. Bener nggak dia yang Pak Abdur maksud.” Annisa memperlihatkan foto Papinya ke Pak Abdur.
“Nah… bener kan. Ini sih memang teman kuliah saya. Ya ampun, nggak percaya saya. Saya biasa panggil dia Maman jangkung. Karena badannya dia memang tinggi.”
“Ya Allah… dunia terasa sempit ya Pak.”
“Kalau begitu, bagaimana sekarang saya ikut ke rumah Dik Nissa saja. Sekaligus ingin melihat keadaan Papinya. Temen kuliah saya. Sekaligus ingin memberikan support dan semangat untuk Papinya.”
“Oh boleh. Memang tidak ganggu kesibukan Pak Abdur.”
“Insya allah nggak.”

Commuterline tujuan Tanah Abang baru saja take off dari stasiun Palmerah. Beberapa saat lagi akan tiba di stasiun akhir, stasiun Tanah Abang.

Sujarwo bergegas naik ke dalam rangkaian kereta jurusan Parung Panjang yang ada di jalur tiga stasiun Serpong. Saat memasuki rangkaian kereta, keadaan lumayan penuh. Tempat duduk sudah terisi semua. Akhirnya Jarwo menuju ke dekat persambungan agar bisa menyandarkan badannya. Dia baru saja selesai menjenguk Dhandy di rumah sakit. Keadaan Dhandy saat dijenguk tadi tidak separah tadi saat di dalam kereta. Menurut informasi dari dokter yang menangani, Dhandy sedikit mengalami memar saja di pelipis sebelah kanannya akibat benturan tadi. Dan keadaan kepalanya setelah dilakukan rontgen, alhamdulillah kepala Dhandy baik-baik saja. Tidak ada luka atau gegar otak. Hanya saja Dhandy harus istirahat barang semalam di rumah sakit untuk memulihkan luka di pelipisnya.

Sebagai sahabat, Jarwo cukup lega mendengar penjelasan dari dokter. Karena bila terjadi sesuatu yang lebih parah dari itu, Dhandy bakal batal pergi ke Kyoto. Selain itu, dia akan lebih susah dan lebih lama lagi bertemu dengan Annisa Azzahrah. Perempuan yang selama ini ditunggunya, dirindukannya dan juga dicintainya. Berbicara mengenai Annisa, Jarwo langsung menceritakan pertemuannya dengan Annisa tadi saat di stasiun Serpong.

Dan tentu saja reaksi Dhandy sangat bahagia dan antusias mendengarkannya. Secara, selama ini Dhandy memang sangat ingin bertemu dengan perempuan cantik itu. Sebagai sahabat, Jarwo bahagia bila memang hal itu bisa membangkitkan semangat Dhandy yang sedang sakit. Jarwo juga menjelaskan bahwa Annisa benar-benar menyusul ke stasiun Serpong dan tadinya mau ikut menjenguk Dhandy di rumah sakit. Namun karena tiba-tiba saja Annisa mendapatkan telepon dari rumah yang menyatakan keadaan Papinya yang mau bunuh diri, akhirnya Annisa pun tidak jadi ikut. Padahal tinggal sedikit lagi antara Dhandy dan Annisa akan bertemu.

“Sabar ya Dhan, mungkin Allah belum mengizinkan kalian untuk saling bertemu.”
“Iya Wo, padahal tinggal dikit lagi.”
“Gue doain, sebelum elo berangkat ke Kyoto, elo dan Annisa udah bisa ketemuan. Berdoa aja Dhan. Mungkin Allah sedang merencanakan pertemuan yang spesial, pertemuan yang indah, pertemuan yang tidak biasanya untuk kalian berdua. Percaya deh.”
“Terima kasih Wo. Bisa aja lo ngomongnya.”
“Sujarwo gitu lho. Hihihi.”

Jarwo tersenyum-senyum sendiri mengingat kembali obrolannya dengan Dhandy tadi di rumah sakit. Sementara itu commuterline tujuan Parung Panjang terus melaju meninggalkan stasiun Serpong semakin jauh. Semakin menuju ke Barat.

BERSAMBUNG ke episode berikutnya…

Hak Cipta Milik : Fakhrul Roel Aroel Hidayat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *