Langkah Elmeira sedari tadi tidak tenang di koridor kereta tujuan Rangkasbitung. Seperti ada seseorang yang mengikutinya. Ya, Elmeira merasakan itu semenjak di stasiun Manggarai tadi sampai stasiun Tanah Abang. Seperti ada beberapa orang yang menguntitnya. Mereka jumlahnya kurang lebih ada tiga orang. Dan yang jelas laki-laki semua. Berbadan tinggi tegap dan memakai baju serba hitam plus kaca mata hitam juga.
Elmeira tidak tahu siapa mereka bertiga, yang jelas tujuannya sudah pasti tidak baik. Untuk yang ke sekian kalinya dia melihat ke belakang koridor kereta. Ya, benar memang. Ketiga laki-laki itu berpura-pura untuk mengobrol seolah-olah untuk menghilangkan jejak bahwa mereka memang sedang mengikuti Elmeira. Tapi siapa mereka dan punya tujuan apa mengikuti Elmeira sampai ke kereta tujuan Rangkasbitung segala.
Padahal Elmeira tidak sedang membawa uang banyak, tidak memakai perhiasan yang berlebihan. Lalu apa yang mereka kejar dan mereka inginkan dari Elmeira sebenarnya. Entahlah, hanya mereka yang tahu.
Kereta telah tiba di stasiun Palmerah, beberapa penumpang banyak yang masuk ke dalam rangkaian kereta. Di saat itulah Elmeira ingin mengecoh para pengintai itu dengan cara berpura-pura untuk turun di stasiun tersebut. Maka dari itu, Elmeira pun keluar dari dari dalam rangkaian kereta secepatnya. Semoga saja dengan caranya yang seperti itu dia bisa terbebas dari para pengintai itu.
Setelah Elmeira menjejakkan kakinya di lantai peron stasiun Palmerah, lekas-lekas dia berlari menuju ke arah selatan peron. Mungkin nasib baik sedang berpihak kepada Elmeira, saat sedang berlari seperti itu dia melihat kerumunan penumpang kereta. Mereka berkumpul dan berkerumun sampai menghalangi pandangan. Situasi seperti itu langsung digunakan oleh Elmeira. Dia segera masuk ke dalam kerumunan.
Beberapa saat setelah itu, ketiga pengintai yang mengikuti Elmeira sejak tadi, langsung ikut turun dan mencari Elmeira yang sangat yakin bahwa buruan yang sedang ditujunya tadi keluar dari rangkaian kereta. Namun ketika mereka bertiga berada di sekitar peron, mereka tidak melihat sosok Elmeira yang sedang mereka kejar.
“Kemana perempuan itu, cepat sekali menghilangnya. Seru yang berambut gondrong sambil mengembarakan pandangannya ke sekitar peron.
“Cari terus, jangan sampai lolos. Kalau itu sampai terjadi, si bos bisa marah dan tidak akan membayar kita.” Imbuh yang bermata picak menambahkan.
“Dia pasti masih di sekitar sini. Ayo cari lagi.”
Ketiga pengintai itu langsung melanjutkan pencarian di sekitar peron Palmerah, mencari sosok Elmeira. Namun perempuan itu menghilang bak di telan bumi. Ketiga pengintai belum berhasil menemukannya. Sampai akhirnya, kereta tujuan Rangkasbitung yang ada di jalur dua, perlahan-lahan diberangkatkan kembali melanjutkan perjalanan.
Dan dari kaca kereta, nampak Elmeira sudah berada di dalam rangkaian kereta lagi sambil melambaikan tangannya kepada para pengintai yang masih ada di peron stasiun.
“Sial! Itu dia. Bukannya tadi dia turun dari kereta ya.” Yang, memakai anting sepertinya kesal dengan keberadaan Elmeira yang tiba-tiba saja ada di dalam rangkaian kereta lagi.
“Kali ini dia bisa lolos. Tapi lain kali, kita pasti bisa menangkapnya dan me…”
“Sssttt, jangan menghayal dulu. Saatnya nanti masa itu akan datang.”
“Gue udah nggak sabar soalnya. Masih hijau banget man.”
Elmeira terduduk lemas di sebelah kursi prioritas. Ya, dia baru saja lolos dari kejaran ketiga pengintai itu. Jelas sekali, maksud dan tujuan para pengintai itu bermaksud tertentu padanya. Entahlah, yang pasti mereka pasti akan mencelakainya. Hahhh. Elmeira menarik nafas panjang. Semua ini harus dia alami karena seorang perempuan yang bernama Yulia yang tak lain adalah Ibu kandungnya.
Karena hingga saat ini, dia masih belum bisa menerima perempuan itu sebagai ibu kandungnya. Terlalu menyakitkan dan pahit bila masa itu harus dikenang lagi. Semakin sering dan berlama-lama menatap perempuan itu, semakin luka itu tersayat kembali.
Dan demi hal ini pula, Elmeira sampai mengganti nomor handphone segala agar tidak bisa dihubungi oleh siapapun. Termasuk Wawan Ayahnya. Dia ingin bebas, dia tidak ingin terbelenggu oleh hal-hal yang akan membuatnya pusing. Tujuan Elmeira naik kereta jurusan Rangkasbitung, adalah untuk menemui Rendy Agus yang bertempat tinggal di sekitar Cisauk.
Ya. Rencananya, Elmeira ingin bermalam di rumah laki-laki yang baru dikenalnya itu. Dia sengaja pergi dari rumahnya di Bojonggede hanya untuk menghindari konflik dengan Ayahnya. Dia tidak ingin bertengkar dan bertengkar lagi dengan Ayahnya. Biarlah dia pergi menjauh. Mungkin ini lebih baik. Atau bahkan mungkin dengan menjauhnya Elmeira, hati dan pikirannya bisa terbuka untuk segera menerima Yulia sebagai Ibu kandungnya.
“Assalamua’laikum Mas Rendy. Ini aku Elmeira.” Akhirnya Elmeira menelepon laki-laki itu setelah dia didera keraguan.
“Waalaikum salam. Elmeira, kamu pakai nomor siapa?”
“Ini nomor baru aku Mas, save ya.”
“Oh gitu, ya udah. Nanti aku save deh.”
“Mas Rendy, malam ini aku numpang nginep di rumah kamu ya Mas.” Pinta Elmeira langsung tanpa basa basi.
“Lho, memangnya kenapa Elmeira. Kamu diusir sama Ayah kamu?”
“Aku yang pergi Mas.”
“Ya ampun, astagfirullahaladzim. Pasti soal waktu itu ya.”
“Complicated banget deh Mas.”
“Tapi saat ini di rumahku sedang banyak tamu. Ada saudara datang dari Makassar. Dan rencananya mereka akan menginap juga.”
“Oh gitu ya.”
Hhhh. Sepertinya Elmeira sedang kurang beruntung. Di rumah Rendy saat ini rupanya sedang tidak memungkinkan untuk menginap. Lalu untuk nanti malam, Elmeira harus tidur di mana. Tidak mungkin dia harus pulang ke Bojonggede. Tidak mungkin.