Lanjutan Cerbung Panggil Dia Ibu : Episode 23
Semenjak kejadian itu, Elmeira tidak pulang ke rumah di Bojonggede. Dia menghilang entah kemana. Jelas saja hal ini membuat Wawan sang Ayah merasa sangat khawatir dan bertanya-tanya, di mana putrinya kini. Hanya karena disarankan untuk menerima kehadiran Yulia dan memaafkan semua kesalahannya, Elmeira memilih untuk pergi dan menjauh. Menurutnya, lebih baik dia menjauh daripada harus memanggil Yulia dengan sebutan Ibu.
Wawan tidak tahu harus mencari Elmeira kemana. Dia tidak habis pikir mengapa putrinya itu bisa mengambil langkah itu. Sebegitu bencinya dia kepada Ibu kandungnya sendiri. Sampai keras hati, Elmeira tidak mau memaafkan kesalahan Yulia di masa lalu.
Bersama Habibi, Wawan mulai rajin mencari keberadaan Elmeira ada di mana. Ke rumah teman-teman sekolahnya, itu hal yang pertama Wawan lakukan. Namun tak satupun di antara mereka yang mengetahui di mana keberadaan Elmeira. Semuanya menjawab tidak tahu. Dengan perasaan lemas, Wawan pun melanjutkan pencarian lagi. Wawan tidak mau menyerah. Untuk anaknya, dia akan melakukan segalanya.
Masa iya idul fitri tahun ini Wawan harus berbahagia dan merayakan kemenangan tanpa Elmeira. Setiap tahun, dia tak pernah kehilangan moment untuk berlebaran bersama. Membuat kue, memakan ketupat, mengolah semur dan masih banyak lagi yang biasa dilewati.
“Kita akan mencari si teteh kemana lagi Yah?” Tanya Habibi sambil duduk di sebelah Wawan di kursi peron stasiun Bekasi.
“Ayah juga tidak tahu Bib. Yang penting kita harus terus berusaha sampai dapat.” Jawab Wawan datar.
“Abib haus nih Yah. Jadi pengen minum.” Keluh Habibi sambil mengusap-usap lehernya.
“Sssttt, puasa. Tahan… sabar. Beberapa jam lagi waktu maghrib.” Ucap Wawan memperingatkan.
Ya. Di sebelah barat, sinar matahari semakin merunduk. Dari panas menjadi hangat. Putik senja yang belum terlalu ranum, mengangkasa di langit stasiun Bekasi sore itu. Sementara itu sekelompok burung dara, mengibas-ngibaskan sayapnya memecah putih awan yang berarak menuju ke timur. Habibi sempat memperhatikan kejadian itu di tempat duduknya.
“Assalamua’laikum. Kang… Habibi…” Di saat sedang melepas lelah di peron stasiun Bekasi, dari arah timur peron terdengar sebuah suara. Mengejutkan Habibi dan juga Wawan yang nafasnya sedikit terengah-engah.
“Waalaikum salam. Yulia. Kamu…”
Ya, orang itu adalah Yulia. Tiba-tiba muncul di antara Wawan dan Habibi dengan busana yang tidak biasanya. Ya. Kali ini Yulia tampil dengan perubahan yang cukup mencolok. Dia memakai baju muslimah yang cukup tertutup. Hijabnya lebar dan rapi. Berwarna hijau toska. Begitupun dengan gamis yang dipakainya juga. Melihat itu, spontan saja Wawan terkesiap kaget. Tidak percaya, mantan istrinya kini sudah menutup aurat.
“Ibu… ini Ibu Yulia kan? Subhanallah…” Tanpa diduga, Habibi yang melihat perubahan Yulia langsung menanggilnya dengan sebutan Ibu. Baik Wawan maupun Yulia, kaget mendengarnya.
“Astagfirullahaladzim, kamu bilang apa barusan, Nak?” Karena masih tidak percaya, Yulia sampai meminta Habibi mengucapkannya lagi.
“Ibu… Abib sayang sama Ibu. Ibuuu.”
Tanpa menunggu waktu lagi, Habibi langsung menghambur ke pelukan Yulia dan menangislah dia di sana. Air matanya lebat berjatuhan, membuat Yulia kaget sekaligus bahagia. Subhanallah, Allahu Akbar. Habibi sudah mulai memanggilnya dengan sebutan Ibu.
“Habibi, anak Ibu. Alhamdulillah… akhirnya kamu mau panggil aku Ibu Nak. Ibu bahagia sekali.”
“Ibu… Maafkan Abib ya Bu. Selama ini Abib sudah benci dan kasar sama Ibu.” Seperti seorang anak yang baru saja dimarahi orangtua, mungkin seperti itulah kurang lebih ekspresi Habibi ketika di pelukan Yulia.
“Nggak Nak, kamu tidak salah. Ibu yang salah. Ibu yang sudah jahat sama kamu dulu. Ibu yang harus minta maaf sama kamu.”
Karena dulu Ibu sudah meninggalkan kamu, Elmeira dan juga Ayah kamu. Ibu meninggalkan kamu ketika kamu masih kecil. Habibi… Habibi… anak Ibu, terima kasih Nak. Inilah yang Ibu tunggu dari dulu. Kamu panggil aku Ibu. Kamu peluk Ibu. Karena Ibu kangen banget sama kamu. Tak terhingga, tak terbendung lagi.
Kamu anak laki-laki Ibu, kamu adalah calon imam nanti. Ibu sayang sama kamu Habibi. Ibu cinta sama kamu. Maafkan Ibu ya Nak, maafkan Ibu Habibi…
Wawan tak kuasa menahan tangisnya melihat Yulia dan Habibi saling berpelukan dalam tangis. Alhamdulillah, saat ini Habibi benar-benar sudah memaafkan dan menerima Ibu kandungnya. Hal yang tidak disangka-sangka. Di tengah rasa lelah dan putus asa karena mencari Elmeira yang tak kunjung ketemu, tiba-tiba saja Yulia hadir membawa serpihan kebahagiaan.
Terlebih saat ini penampilan Yulia sangat anggun dengan busana muslimahnya. Dia juga kaget dan surprise sekali. Karena terakhir bertemu, Yulia masih memakai kostum biasa. “Terima kasih ya Allah. Terima kasih atas kebahagiaanmu hari ini. Akhirnya Habibi mau menerima Yulia sebagai Ibunya, dan memanggilnya dengan sebutan Ibu. Sungguh, aku bahagia sekali ya Allah. Terima kasih.”
Panjat doa bergema lirih di hati Wawan. Dan sementara itu, air mata Wawan kian berjatuhan deras, menganaksungai di kedua pipinya.
“Ibu jangan pergi lagi ya. Sudah, Ibu tinggal di Bojonggede saja sama kita.” Pinta Habibi di tengah tangisnya.
“Iya Nak, insya Allah. Tapi tidak sekarang ya.”
“Tapi kenapa Bu, Abib kan butuh Ibu. Abib ingin peluk Ibu terus. Karena dulu… Abib katanya jarang dipeluk sama Ibu. Ya Bu Yah…”
“Sayang… Ibu sama Ayah kan sudah lama bercerai. Jadi tidak mungkin tinggal dalam satu rumah. Apa nanti kata tetangga.”
“Ya udah kalau gitu, Ibu sama Ayah nikah lagi saja. Rujuk. Abib pasti akan sangat bahagia.”
Yulia tak langsung menanggapi ucapan putranya itu, dia semakin erat memeluk Habibi. Yulia terharu, bahagia tidak terkira. Tidak menyangka anak seperti Habibi punya pemikiran seperti itu.
“Kamu tanyakan saja sama Ayah kamu, mau nggak menikah lagi sama Ibu. Orang yang sudah menyakiti hatinya. Orang yang sudah meninggalkannya dan telah menghancurkan perasaannya.”
Kata-kata Yulia membuat Wawan semakin teriris sedih sekaligus bahagia.
BERSAMBUNG ke episode berikutnya…
Hak Cipta Milik : Fakhrul Roel Aroel Hidayat