Apa yang dikhawatirkan Annisa benar-benar terjadi. Ketika dia sampai di rumahnya, Papinya benar-benar marah. Annisa dimarahi layaknya anak kecil yang baru saja maling mangga tetangga. Betapa kesal dan emosinya Papi Annisa saat kejadian itu diceritakan. Dhandy yang mengantarkan sampai rumah cukup terkejut definisi sikap Papinya Annisa yang boleh dibilang terlalu kasar dan temperamental. Padahal Annisa sudah menjelaskan, bahwa dia benar-benar tidak sengaja. Namun sepertinya Papinya tidak mau terima. Dhandy menilai, Papinya Annisa terlalu perfeksionis. Dhandy sudah membantu menjelaskan dengan seramah dan sehati-hati mungkin. Namun apa yang didapatkan, Dhandy malah balik dimarahi oleh Papinya Annisa. Malah Papinya Annisa bilang, Dhandy terlalu jauh ikut campur dalam masalah itu. Apalagi dia baru mengenal Annisa.
Semuanya, memang Annisa juga yang salah. Selain tidak hati-hati terhadap barang bawaannya, Annisa juga terlambat pulang ke rumah. Seharusnya dia pulang ke rumah itu semalam. Bukan keesokan harinya seperti yang terjadi hari ini. Kemarin Papinya sudah wanti-wanti mengingatkan, agar dia semalam pulang ke rumah. Namun karena semalam itu ada kecelakaan di dekat Parung Panjang, Annisa tidak bisa pulang ke rumah malam itu. Akses menuju ke stasiun macet total, hujan pula. Yang akhirnya, Annisa tidak bisa pulang ke rumah.
Di mata Papinya, kesalahan Annisa adalah double. Sudah pulang terlambat, barang-barang hilang pula. Semuanya. Tidak bersisa. Kalau sudah seperti ini, Annisa pasti kena hukuman. Dan hukumannya adalah, dia harus pergi dari rumah. Dan Annisa tidak boleh protes atau complain. Secara dia sudah tahu bahwa Papinya itu memang sudah seperti itu karakternya. Galak, tegas dan suka marah-marah. Namun yang namanya orangtua, Annisa harus tetap berbakti kepada Papinya itu.
Keputusan Papinya Annisa yang mengusirnya dari rumah, tentu saja mengagetkan Dhandy. Harus separah itukah hukuman yang harus diterima oleh Annisa. Tidakkah Papinya Annisa bisa lebih iba dan lembut lagi. Akhirnya, mau tidak mau Annisa pun menuruti keinginan Papinya untuk pergi dari rumah. Dhandy yang tadinya berniat untuk membantu Annisa, tidak bisa berbuat apa-apa. Dhandy hanya orang lain. Baru kenal. Pengaruhnya tidak ada. Apapun yang dilakukannya, pasti tidak akan pernah didengar. Maka dari itu, akhirnya Annisa memutuskan untuk pergi dari rumah sesuai perintah Papinya.
Annisa tidak tahu harus pergi ke rumah siapa. Dia belum ada bayangan. Untung saja ada Dhandy yang menemani. Ada nggak seseorang yang bisa dia ajak bicara. Setidaknya ada penyemangat hidup. Dhandy dan Annisa akhirnya kembali lagi ke stasiun Bogor menjelang siang. Cuacanya lumayan panas. Terik sekali.
“Terus Mbak Annisa mau pulang kemana?”
“Saya nggak tahu Mas, bingung nih.”
“Selama di rumah Mbak, koq saya tidak melihat Ibunya Mbak, kemana beliau?” Ditanya seperti itu Annisa malah terdiam.
“Lho koq diam Mbak,”
“Nanti aku ceritakan di perjalanan kereta.”
Sudah setahun belakangan ini sikap Papi jadi galak seperti itu. Padahal dulu ketika almarhumah Mami masih ada, Papi sangat sayang sama saya. Papi perhatian dan tidak pernah marah sama saya. Apapun yang saya inginkan, Papi selalu menurutinya. Namun, setelah kepergian Mami kepada Yang Maha Kuasa, Papi jadi berubah sikapnya. Bukan tanpa alasan Papi jadi jauh berubah. Kematian Mami disebabkan pada awalnya karena kesalahan saya sendiri Mas Dhandy. Kalau bukan karena keteledoran saya, mungkin saat ini Mami masih hidup.
Saat itu Mami di rawat di rumah sakit karena kecelakaan. Ya, saya yang salah. Saya yang belum terlalu pandai menyetir mobil, memaksa Mami untuk ikut dengan saya di mobil, sekedar jalan-jalan. Karena hari itu saya sudah lancar membawa mobil. Namun di perjalanan saya tidak bisa mengendalikan stir mobil. Ada sebuah truk berkecepatan tinggi datang dari arah yang berlawanan. Saya kaget dan gugup. Sementara truk itu semakin mendekat. Saya ikut panik dan ketakutan. Akhirnya saya banting stir dan… kami kecelakaan. Yang membuat saya terpukul, Mami meninggal di tempat karena lupa memakai shitbelt. Kepalanya terkena benturan. Sementara saya, hanya mengalami lecet-lecet dan tulang retak di bagian tangan sebelah kiri.
Terang saja. Papi sangat marah. Papi habis mencaci maki saya. Papi murka dan mengatakan saya seorang pembunuh. Semenjak kejadian itu Papi saya selalu bersikap kasar dan menyalahkan saya. Dia masih sangat marah dan tidak bisa melupakan kejadian itu. Setidaknya, saya telah menghilangkan nyawa seorang perempuan yang Papi sayangi. Saya telah memisahkan mereka. Saya akui saya salah. Tapi saya bisa apa Mas Dhandy. Saya tidak sengaja melakukan semua itu.
Annisa mengakhiri ceritanya dengan butir-butir air mata penyesalan yang hingga kini tak kunjung reda. Sungguh, peristiwa setahun yang lalu itu tidak mungkin Annisa lupakan seumur hidupnya. Maminya menghembuskan nafasnya yang terakhir, karena keteledorannya. Karena kesalahannya. Dhandy yang asyik dan serius mendengarkan, nampak ikut larut dalam cerita Annisa. Dia prihatin dan mulai bersimpatik kepada Annisa Azzahrah.
“Mbak Annisa yang sabar ya. Saya yakin, semua ini bukan seratus persen kesalahan Mbak Annisa, tapi sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Itu sudah takdir dari Allah, tidak ada yang boleh menyalahkan takdir dari Allah.”
“Andai saja Papi saya bisa berkata seperti Mas Dhandy, pasti saya merasa sangat bahagia. Terima kasih Mas Dhandy.”
Commuterline tujuan Jakarta Kota terus melesat meninggalkan stasiun demi stasiun. Dhandy dan Annisa tidak hanya mengobrol sampai di situ. Perbincangan berlanjut sepanjang perjalanan KRL.
BERSAMBUNG ke episode berikutnya…
Hak Cipta Milik : Fakhrul Roel Aroel Hidayat