“Bos… pak Sopir pulang duluan yaa mau meeting sama orang, jadi nanti pulang sendiri yaa… ! Hati-hati di jalan Er… !” itulah kata-kata atasan saya saat itu.
“Okey pak, semoga meetingnya membawa berkah !” menanggapi teriakan pak bos.
“Kalau jatuh bangun sendiri mba R… !”. “Hanya disini bos jadi sopir karyawan !”, rekan-rekan kantor saling sahut menyahut mendengar pesan pak bos kami tersebut.
Dan tak menyangka bahwa ledekan teman-teman tersebut akan menjadi kenyataan beberapa jam kemudian saat KRL Holec Terbakar di Simprug sebagai KRL Bisnis Serpong yang menggantikan KRD Bisnis Serpong.
Selasa, 18 November 2003 jika biasanya saya dan seorang teman yang akan pulang menuju arah stasiun Jakarta Kota (Beos) joki 3 in 1 dari kawasan Gajah Mada menuju bilangan Kemayoran, sore itu kami harus pulang naik mikrolet.
Tiba-tiba Kokom teman saya mengajak mampir ke sasjid Jami’ Kebon Jeruk Gajah Mada “yuk mbak, temani aku beli kado buat pacar lagi ulang tahun. Disana kan kalau sore banyak yang jualan barang-barang import dari Arab, apalagi ini bulan puasa mau lebaran pasti banyak yang bagus-bagus !”.
Sayapun mengantar Kokom singgah sejenak ke masjid tersebut, karena kami juga pulang lebih awal pada bulan puasa. Dan Jadwal KRD Bisnis Serpong juga masih lama, karena di tahun 2003 KRL belum sebanyak saat ini.
Memasuki kawasan stasiun Beos, saya langsung membeli karcis KRD Bisnis Serpong. Di jaman itu hanya ada 2 jadwal pemberangkatan ke lintas Serpong, ada KRL Bisnis Serpong pukul 17.15 dan KRD Bisnis Seropng pukul 17.30. Selebihnya adalah KRD Ekonomi Rangkasbitung yang kondisinya bisa bikin kita TBC jika terlalu sering naik (maaf… bukan menghina, tapi kondisinya SANGAT TIDAK MANUSIAWI). KRL Ekonomi tidak ada yang pemberangkatan awal stasiun Beos ke Serpong, semua dari Tanah Abang, jadi tak ada pilihan lain bukan ?
Setelah membeli tiket, saya menuju teras peron jalur 3 – 4 dimana teman-teman roker (rombongan kereta) biasa saling berkumpul sekedar ngobrol dan bercanda menunggu KRL datang.
Sudah tampak ramai oleh canda tawa mba Dwi staff Kemenhub, mbak Tari staff BRI, mas Danang (ini guru loncat indah bila naik KRL Bisnis Serpong untuk turun di sinyal masuk Pondok Ranji), Ci Lili, mbak Sulis, Wita, Tanti.
Mendekati jam keberangkatan KRD Bisnis Serpong, tampak mulai berdatangan mba Tatik, bu Titik dan bu Ancol (bekerja di PT. Jaya Ancol, nama sebenarnya kita semua tidak tahu).
Langit makin gelap dan mulai hujan rintik-rintik di seputar stasiun Beos, saat announcer mengumumkan “KRL Bisnis Serpong akan masuk di jalur 3”.
“Lohhh kok KRL, kan KRD… KRL nya kan sudah jalan ?” begitu kami bergumum, namun tidak kami bahas, sudah maklum mungkin anounsernya sudah lapar karena puasa jadi salah sebut.
Kami mulai siap-siap naik dan harus berebutan ke gerbong 5, karena untuk gerbong 1-4 adalah gerbong untuk penumpang abonemen (langganan).
Tak susah kami mendapatkan tempat duduk seperti hari-hari biasanya, karena waktu itu adalah hari menjelang Idul Fitri. Disamping banyak yang sudah mudik juga karena sebagian besar karyawan di Jakarta pulang lebih cepat dari jam kerja non bulan puasa.
Pukul 17.25, KRL mulai bergerak perlahan memecah rintik hujan dan disela-sela kilatan petir, memang suasana aga sedikit beda… lebih mencekam dari biasanya.
Saya duduk bersebelahan dengan mba Tatik. Sedikit heran mendengar bunyi alarm berdenging, saya iseng bertanya ke mba Tatik “kok alarm nya bunyi ya ? Ada apa nih ? Seremmm !”
Mba Tatik dengan santai menjawab “ahhh… perasaanmu aja Er, sudahlah… aku cape mau tidur, enak nih hujan-hujan tidur !”.
Ketika kondektur mulai memeriksa dan membolongi karcis, saya pun masih penasaran dan bertanya “pak, kok alarmnya bunyi ya ?”.
Kondekturpun menjawab santai “gapapa neng… itu hanya karena pintu kurang rapat menutup !”.
Masih belum puas mendapat jawaban itu “ngga apa-apa beneran pak ?”.
Kondektur menjawab “Ini KRL Holec biasa bunyi begitu, lain sama KRD yang biasa kalian naikin, ini kan listrik !”.
Walau masih penasaran dengan bunyi dengingan yang masih juga terdengar, akhirnya sayapun mencoba untuk memejamkan mata seperti teman-teman roker lain, yang rupanya sudah mulai tertidur sejak Kampung Bandan.
Memasuki stasiun Tanah Abang, seperti biasa banyak penumpang ikut naik.
Di stasiun Palmerah kembali KRL Holec pengganti KRD Bisnis Serpong berhenti untuk menunggu aman stasiun Kebayoran, namun hal ini dimanfaatkan oleh para penumpang gelap untuk naik melalui kabin depan dan belang. Untuk KRL dan KRD Bisnis Serpong tidak menaikkan penumpang di Palmerah.
Belum juga melaju 200 meter dari stasiun Palmerah terdengar ledakan “DUAARRRRR… !!!!”.
Lampu KRL Holec seketika mati, dan mulai terdengar bunyi aliran strum listrik diatas atap KRL. Dalam keadaan KRL tetap berjalan, penumpang mulai panik dan dari arah gerbong depan penumpang berlarian ke arah gerbong 5 tempat kami berada. Gerbong pertama dan kabin masinis mulai terbakar.
Semua teriak-teriak, menjerit-jerit dan sesekali terdengar “JANGAN PEGANG APAPUN, ada aliran listrik !”.
“Kebakaranan… Kereta terbakar… !!!” teriak penumpang yang tetap mencoba masuk ke gerbong 5 (gerbong paling belakang) walau sudah SANGAT PADAT. KRL Holec tetap melaju dan pintu masih tertutup.
Beberapa orang laki-laki mencoba memecahkan kaca dan meloncat keluar.
Sungguh… sebuah situasi sakratul maut yang SANGAT MENCEKAM, dimana hampir semua orang mengucapkan doa sesuai keyakinan masing-masing. Disitu kami hanya bisa PASRAH dan menyadari betapa kami tidak berdaya, hanya debulah kami di hadapan Sang Maha Kuasa.
Tiba-tiba pintu terbuka persis dibawah jalan layang Simprug (petak Palmerah – Kebayoran), sebelum KRL Holec berhenti kami masih belum berani meloncat, walau ada beberapa orang laki-laki meloncat saat KRL mulai berjalan pelan.
Kembali terdengar teriakan “JANGAN PEGANG APAPUN, ada strum !”.
“JANGAN LONCAT… rel ada strummm !!!!”. Dan masih terdengar doa-doa dari orang-orang yang mulai panik, karena api mulai menjalar ke arah belakang.
Setelah KRL Holec berhenti, kami siap-siap untuk meloncat turun namum kembali ada yang teriak “jangan sentuh apapun, diatas dan rel ada listrik !”.
Namun beberapa orang mulai tidak sabar dan akhirnya meloncat. Satu persatu penumpang meloncat turun. Saya pun segera melompat, beruntung mas Danang sudah mengajari cara melompat dari atas KRL di sinyal masuk Pondok Ranji, jadi bukan masalah bagiku untuk melompat.
Namun, siallll… begitu saya melompat, beberapa penumpang perempuan ikut melompat, saya yang memang kurang kuat jadi tersungkur ke atas batu-batu balas dan menjadi landasan bagi orang untuk mendarat.
Cukup sakit, namun untunglah hanya mengalami luka-luka memar karena batu-batu dan tidak ada yang berdarah.
Kami segera mencari angkutan lain, dan kebetulan ada bis koperasi karyawan DPR-MPR yang lewat dan mengevakuasi kami menuju Cipulir.
Rabu, 19 November 2003 hampir semua koran ibukota seperti KOMPAS, Warta Kota dan Post Kota menampilkan Headline disertai gambar diatas dengan judul “KRL Serpong Terbakar di Simprug”.
Dan peristiwa tersebut memakan korban 1 ibu-ibu yang terbakar di kabin masinis. Sekedar info, pada tahun itu banyak “penumpang gelap” (penumpang yang tidak membeli karcis/tiket resmi dan hanya membayar IDR 1,000 untuk naik di kabin masinis). Sangat disayangkan untuk korban tersebut karena benar-benar menyalahi aturan, andai tidak berada di kabin masinis pasti akan selamat.
Sungguh pengalaman yang sangat mencekam dan tak bisa saya lupakan seumur hidup. Tapi tetap BERSYUKUR karena terbakarnya KRL Holec itu membuka hati dan pikiran saya untuk ikut memantau perkembangan KRL agar lebih MANTJARLI & MANUSIAWI. Dan bagi crew KRL CL dan PT. KCI khususnya, agar JANGAN PERNAH MENGABAIKAN pertanyaan, saran, kritik dan ocehan dari para pengguna KRL Commuter Line agar jangan sampai ada kejadian yang tidak kita inginkan.
Dokumentasi Foto : Wikipedia, Tempo, yooying.org
catatan sejarah….
bagus
Terima kasih om Puji untuk komentarnya.
Yaa… kami mencoba untuk mendokumentasikan sejarah, sebagai bahan acauan dan pembelajaran agar KRL CL lebih MANTJARLI & Manusiawi 🙂