Commuterline… dia telah pergi
Tapi pasti dia akan kembali
Menjemput penumpang di peron stasiun
Masinis… tak mungkin lupa
Mengantarkan aku ke stasiun tujuan
Rangkaian kereta… selalu ada
Menemaniku ke tempat kerja
Setiap hari walaupun panas dan hujan
Tak jadi penghalang
Namun kamu… wahai peri cintaku
Di manakah dirimu kini
Tak pernah kulihat lagi tawamu
Tak nampak lagi senyummu
Tidakkah kau tahu letupan rasa
Menggelegak di dalam dada
Menggangguku… menggodaku
Dalam desah dan juga langkah
Sungguh… jauh di tepi palung
Aku ingin melihatmu lagi
Di sini… bersamaku lagi
Seperti waktu itu wahai peri cintaku
Hujaman rindu ini kian menikam
Dan menusuk rasa tanpa ada jeda
Duhai Annisa Azzahrah
Peri cintaku
“Ayeee. Kagak nyangka lo bisa puitis juga Dhan. Sampe segitunya sama si Annisa Azzahrah.” Jarwo baru saja selesai membaca puisi yang ditulis oleh Dhandy. Jarwo segera melipat kertas berisi puisi itu kemudian memberikannya kembali ke Dhandy.
“Gue juga kagak tahu kenapa gue gini-gini amat sama cewek ya. Biasanya nggak pernah.” Imbuh Dhandy sambil berdiri bersandar di tiang stasiun Sudirman sambil menunggu kereta bersama Jarwo.
“Elo tahu rumahnya kan Dhan. Elo ke sana aja. Datengin. Susah amat.” Usul Jarwo tiba-tiba.
“Gue nggak berani Wo, bokapnya galak banget.”
“Jahhhh, cemen lo. Harus berani dong. Kan demi Annisa Azzahrah.”
Dhandy tak menanggapi ucapan Jarwo. Dia hanya diam saja sampai akhirnya handphone Dhandy tiba-tiba saja berbunyi mengagetkannya. Sebentar kemudian Dhandy pun mengambil handphone dari saku celananya. Namun setelah dilihat, nomor tidak dikenal.
“Siapa nih yang telepon gue. Nomernya gue nggak kenal.”
“Nahhh, siapa tahu Annisa, Dhan. Dia baru beli hape baru. Langsung nelpon elo.”
“Dodol lo. Annisa nggak tahu nomor handphone gue. Gue lupa ngasih nomor handphone ke dia.”
“Lha… koq bisa.”
“Duhh, siapa ya. Males ngangkatnya gue,”
“Angkat aja Dhan, siapa tahu penting.” Sambung Jarwo menambahkan.
Tanpa menunggu waktu lama dengan gerakan yang agak ragu, Dhandy pun segera menjawab telepon itu.
“Assalamu’alaikum, selamat sore,”
“Waalaikum salam, selamat sore juga Pak Dhandy.”
“Maaf, ini dengan siapa ya. Dan… darimana anda tahu nomor handphone saya.” Dhandy merasa tidak mengenal suara si penelepon.
“Saya Abdur Rahman mitra bisnis Pak Wawan Kurniawan, bos anda.”
“Oh iya Pak Abdur Rahman. Apa kabarnya Pak Abdur?”
“Alhamdulillah baik-baik saja Pak Dhandy.”
“Alhamdulillah, syukurlah. Ada apa ya Pak.”
“Begini Pak Dhandy, maaf mengganggu waktu anda sebentar.”
“Oh iya Pak silakan Pak.”
Beberapa hari yang lalu saya baru pulang dari Kyoto, Jepang karena ada urusan pekerjaan di sana. Selama beberapa hari di Kyoto saya mengenal banyak orang di sana dan membicarakan prospek pekerjaan di sana. Ada beberapa perusahaan di Jepang yang tertarik untuk bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. Saya juga sempat menceritakan soal perusahaan yang Pak Wawan pimpin di Jakarta. Saya banyak bertanya dan berdiskusi tentang prospek kerja sama ke depan dengan perusahaan-perusahaan antara beda negara.
Saya menjelaskan bahwa perusahaan yang dipimpin oleh Pak Wawan adalah perusahaan yang sedang berkembang dan maju. Untuk diajak kerja sama sangat bagus dan akan menguntungkan. Kenapa saya bisa bicara seperti itu. Karena saya sudah mengadakan kerja sama dengan perusahaan Pak Wawan cukup lama. Dan sepertinya salah satu perusahaan di Kyoto tertarik untuk mengadakan kerja sama dengan perusahaan yang Pak Wawan pimpin. Mengenai hal ini saya pun menceritakannya langsung kepada Pak Wawan. Dan Pak Wawan menerimanya dengan positif dan senang.
Saya juga mengatakan bahwa di perusahaan Pak Wawan itu ada salah satu karyawan yang sangat baik kredibilitas kerjanya, yaitu anda Pak Dhandy. Pak Wawan sering bercerita tentang kerja kamu yang sangat baik dan patut diperhitungkan. Yang akhirnya, Pak Yamada Nagao salah pemilik perusahaan tekstil di sana tertarik untuk mengundang Pak Dhandy dan Pak Wawan ke Kyoto. Namun setelah saya membicarakan ini dengan Pak Wawan, untuk saat-saat ini Pak Wawan tidak bisa bepergian ke luar negeri terlebih dahulu karena banyak schedule meeting dan seminar yang harus dia hadiri di luar kota katanya. Yang akhirnya Pak Wawan menyarankan kepada saya untuk mencoba menghubungi Pak Dhandy saja.
“Pak Abdur… ini beneran Pak?”
“Nanti malam mungkin Pak Wawan akan menghubungi Pak Dhandy. Saat ini dia sedang mengadakan seminar di Nusa Dua bali dengan mitra dari Bali.”
“Lalu… rencananya kapan saya harus ke Kyoto. Dan akomodasi kesana bagaimana Pak. Saya tidak ada persiapan.”
“Pak Dhandy tidak usah khawatir akan hal itu. Pak Wawan dan saya sudah menanggungnya. Pak Dhandy tinggal bilang “iya” atau “tidak” saja. Dan kalau tidak ada aral melintang, dua minggu dari sekarang kita berangkat ke Kyoto sama-sama. Pak Yamada Nagao sangat menanti kedatangan kita di sana.”
Entahlah, Dhandy harus bahagia atau tidak dengan kabar dari Pak Abdur Rahman itu. Kyoto. Membayangkannya saja tidak pernah. Dan sekarang, ada tawaran untuk pergi ke sana. Ya Allah…
“Bagaimana Pak Dhandy. Kalau masih mau dipikir-pikir, nggak apa-apa. Saya tunggu jawaban Bapak besok siang. Biar saya bisa langsung urus tiket, paspor dan visanya.”
“Iya Pak Abdur. Nanti malam sekitar jam setengah sepuluh saya telepon Bapak lagi. Saya harus membicarakan hal ini dengan keluarga saya terlebih dahulu. Soalnya mendadak.”
“Iya Pak Dhandy nggak apa-apa. Orangtua dan keluarga memang harus tahu hal ini.”
“Terima kasih banyak Pak Abdur. Terima kasih.”
“Saya tunggu nanti malam ya Pak. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikum salam.”
BERSAMBUNG ke episode berikutnya…
Hak Cipta Milik : Fakhrul Roel Aroel Hidayat