Dhandy Aditya Ardiansyah menempelkan karcis di pintu tap in di stasiun Bogor dengan perasaan lemas dan sedih. Wajahnya terlihat sangat tidak bergairah dan tidak bersemangat. Jarwo mengikutinya dari belakang. Usahanya hari ini untuk menemui Annisa di rumahnya ternyata belum membuahkan hasil yang diinginkan. Padahal dari awal perjalanan tadi pagi, Dhandy sudah sangat berharap bahwa hari ini dia bisa bertemu dengan Annisa. Namun sepertinya situasi dan kondisi belum memungkinkan bagi Dhandy untuk bertemu dengan gadis itu. Langkah Dhandy setelah melakukan tap in terlihat sangat gontai dan seperti tidak ada tenaga.
Ya, semuanya gagal sudah. Dan sepertinya tidak ada harapan lagi. Seperti yang sudah diceritakan oleh tetangga sekitar rumah Annisa, bahwa Annisa dan Papinya sudah tidak tinggal lagi di tempat itu. Annisa telah pindah rumah secara mendadak. Dan soal kepindahannya, tetangga sekitar tidak ada yang bisa memberikan jawaban secara jelas. Semuanya tidak ada yang pasti. Ada yang bilang, Annisa dan Papinya pindah ke kota Bandung. Ada juga yang mengatakan bahwa Annisa dan Papinya tinggal di Jakarta. Lalu ada juga yang mengatakan bahwa Annisa dan Papinya menempati rumah baru di daerah Tangerang dan Bekasi. Semuanya masih belum jelas. Dhandy sampai bingung dibuatnya.
Dan menurut keterangan dari beberapa tetangga sekitar, rumah yang ditempati Annisa yang di Bogor itu di sita oleh pihak Bank karena Papinya Annisa tidak sanggup lagi bayar cicilan rumah yang dibelinya. Ada juga yang mengatakan bahwa perusahaan tempat Papinya Annisa kerja, bangkrut dan mengalami gulung tikar. Alhasil, mau tidak mau Annisa dan Papinya harus hengkang dari rumah itu. Dan soal perginya kemana, saat ini Dhandy ataupun Jarwo tidak tahu. Semuanya masih bayang-bayang.
Dhandy menghentikan langkahnya di koridor pintu tap in stasiun Bogor. Dia tidak langsung menuju ke peron stasiun dan naik kereta. Namun dia duduk-duduk santai terlebih dahulu di teras kecil sepanjang koridor stasiun Bogor yang di sepanjangnya tumbuh dedaunan hijau yang segar memanja. Jarwo pun mengikutinya duduk.
“Udahlah Dhan, nggak usah dibawa sedih kayak gini. Yang penting elo kan udah usaha. Kalo hasilnya belum ada… Ya udah, mungkin belum waktunya.”
“Gue cuma kasihan aja sama Annisa Wo. Sekarang dia sama Papinya tinggal di mana coba.”
“Di mana pun sekarang Annisa tinggal sama Papinya, kalo emang elo cinta dan sayang sama dia, elo doain aja terus si Annisa. Semoga Annisa dan Papinya selalu dalam keadaan baik-baik aja.”
Tak ada tanggapan dari Dhandy. Dia hanya tertunduk lemas. Berat rasanya untuk bangkit dari duduk dan melanjutkan peperjalanan. Di saat sedang sedih dan kalut seperti itu, ada seseorang mencolek pundak Dhandy dari arah depan.
“Dhandy. Kamu ngapain bengong di sini!” Sebuah suara mengagetkan Dhandy dan juga Jarwo. Dan ternyata…
“Pak Wawan… koq Bapak naik kereta Pak…” Ya. Itu memang Pak Wawan Kurniawan bosnya Jarwo dan juga Dhandy. Datang sendirian dengan kostum biasa-biasa saja, hanya memakai kaos dan celana jeans biasa.
“Saya pangling ih lihat Bapak. Nggak ngenalin. Biasanya pake jas sama dasi. Tapi ini…”
“Sekali-sekali boleh dong saya berpenampilan seperti ini. Nggak ada yang larang kan?”
“Ya nggak ada sih Pak. Cuma kalo dandanan Bapak seperti ini, seperti sepuluh tahun lebih muda.” Jarwo mulai ceplas-ceplos.
“Oh, berarti kalau di kantor saya sudah tua gitu ya.”
“Aduh Pak Wawan, ya nggak begitu lah Pak. Hihihi.”
“Oh iya, Pak Wawan dari mana mau kemana?”
Saya baru saja melakukan kunjungan ke calon besan saya di daerah Bogor. Kebetulan anak saya yang laki-laki memang sudah saatnya menikah. Dan tanpa saya ketahui, ternyata dia sudah punya calon istri yang saya sendiri tidak tahu. Acara tadi boleh dibilang acara untuk pendekatan antar keluarga. Kalau tidak ada aral melintang, awal bulan Agustus insya allah pernikahan itu akan dilaksanakan. Anak saya tidak mau lama-lama, takut keburu diambil orang katanya. Oh iya, nanti kalian berdua jangan lupa jadi panitia acara pernikahan anak saya ya.
“Anak Bapak yang namanya Farhan itu bukan ya.” Tanya Dhandy meyakinkan.
“Benar sekali kamu Dhan. Si Farhan yang pernah kamu tolong saat ketinggalan tasnya di kereta Parahyangan waktu itu.”
“Wahhh, selamat ya Pak. Semoga acara pernikahannya nanti lancar-lancar saja. Farhan dan calon istrinya menjadi keluarga yang sakinah mawaddah, warrahmah.”
“Aamiin Ya Robbal Alamin. Terima kasih Dhandy.”
“Lha terus koq Bapak pulang sendirian, udah gitu naik kereta lagi?” Tanya Jarwo menelisik.
“Saya sengaja menyuruh Farhan dan calon istrinya pulang naik mobil. Saya ada perlu ke Tanah Abang. Sekaligus ingin tahu bagaimana rasanya naik KRL Commuterline.”
“Ya beginilah naik KRL Pak. Di dalam rangkaian kereta semuanya sama. Tidak ada si kaya ataupun si miskin. Tidak ada atasan ataupun bawahan. Tidak ada ras, kasta ataupun jabatan. Semuanya sama.” Jarwo yang memang agak bawel dan pandai berbicara, tak bisa menahan mulutnya untuk tidak berbicara.
“Jawaban yang bagus Jarwo. Oh iya kalian berdua dari stasiun Bogor ada keperluan apa?”
Pak Wawan tiba-tiba saja bertanya seperti itu. Jarwo dan Dhandy hanya saling pandang. Tak tahu harus menjawab apa. Tak tahu siapa yang akan memulai untuk menjelaskan. Sementara itu, commuterline tujuan Angke terus bergerak dan bergerak, melewati stasiun demi stasiun.
BERSAMBUNG ke episode berikutnya…
Hak Cipta Milik : Fakhrul Roel Aroel Hidayat