Lanjutan Cerbung Commuterline Love Story : Episode 21
Annisa Azzahrah sedikit kecewa karena pagi ini dia tidak bisa mengantar Dhandy Ardiansyah ke bandara Soekarno-Hatta. Ya. Seharusnya jam empat pagi tadi dia sudah bangun dan bersiap-siap untuk mengantar. Menurut isi pesan whatsApp dari Dhandy, jam sepuluh siang nanti, pesawat yang dinaiki oleh Dhandy akan take off dari cengkareng. Namun sayang, Annisa ketiduran setelah sholat Shubuh. Dia hampir begadang semalaman karena menunggui Papinya yang masih sakit karena terjatuh dari tempat tidur. Dan hal itu membuat Annisa sangat kecewa dengan dirinya sendiri. Mengapa dia harus ketiduran. Sedangkan dia sudah menginformasikan kepada Dhandy bahwa insya allah dia akan ikut mengantar. Namun saat ini sudah jam setengah delapan pagi. Tidak akan terkejar waktunya.
Padahal itu adalah kesempatan terakhir bagi Annisa untuk bisa bertemu dan mengucapkan selamat jalan untuk Dhandy sebelum dia terbang ke Kyoto. Namun lagi dan lagi. Sepertinya Allah memang belum menghendaki mereka untuk saling bertemu. Di commuterline tujuan Duri, Annisa terpekur kuyu di tempat duduknya. Namun beberapa saat kemudian, handphone Annisa berbunyi mengagetkannya. Annisa cukup terperanjat. Dia segera melihat ke layar handphonenya. Dhandy Ardiansyah. Ya Allah… ternyata Dhandy yang menelepon. Pasti laki-laki itu akan menanyakan sesuatu kenapa tidak jadi datang untuk mengantar.
“Assalamu’alaikum. Halo Mas Dhandy.”
“Waalaikum salam. Nissa… kamu nggak jadi datang ya.”
“Maafkan aku Mas. Tadi abis sholat Shubuh aku tidur lagi. Soalnya ngantuk banget. Aku sudah berusaha untuk ke bandara. Tapi waktunya mepet. Maafkan aku ya Mas.”
“Padahal aku akan pergi. Sebelum aku terbang, aku ingin melihat wajah kamu walaupun hanya semenit saja. Tapi ternyata…”
“Semalaman aku hampir nggak bisa tidur Mas karena jagain Papi. Bi Dedeh pulang ke rumahnya karena anaknya sakit. Jadi ya… aku yang jagain Papi. Aku bener-bener minta maaf lho Mas. Aku ngaku salah.”
“Tidak apa-apa. Kamu kan tidak sengaja. Lagipula, Papi kamu memang harus ada yang jagain.”
“Mas…”
“Iya Nissa, ada apa?”
“Hati-hati ya selama di sana. Jaga kesehatan. Jangan lupa makan. Sholat jangan ditinggalkan. Aku di Indonesia akan selalu mendoakan yang terbaik untuk keselamatan Mas Dhandy.”
“Terima kasih Annisa Azzahrah. Aku tidak akan lupa pesan kamu itu. Kamu juga jangan lupa jaga diri ya. Dan kalau bisa, tetap mikirin aku aja. Nggak usah cowok lain. Hihihi.”
“Ihhh apaan sih Mas Dhandy. Bisa aja deh.”
“Habis kamu ngangenin aku terus. Bagaimana nggak kangen coba, ketemu aja baru sekali.”
“Udah ah, ngomong terus nih. Nanti ketinggalan pesawat lho.”
“Nissa…”
“Iya Mas, ada apa?”
“Nggak ada apa-apa koq . Cuma ngetest kuping aja.”
“Ihhh dia mah…”
“Ya udah, udahan dulu ya. Bentar lagi boarding nih. Nanti kalau sudah sampai Kyoto, aku telepon kamu lagi.”
“Iya Mas, semoga perjalanannya lancar ya.”
“Aamiin Ya Robbal Alamin. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikum salam.”
Annisa mengakhiri hubungan teleponnya dengan Dhandy. Handphonenya segera dia masukan kembali ke dalam tasnya. Rinai senyuman terlihat cerah di wajahnya. Antara bahagia dan juga rindu, berpadu menjadi satu. Sementara itu commuterline tujuan Duri terus melaju. Meninggalkan stasiun demi stasiun di belakangnya.
Dear lelakiku…
Sejujurnya aku tak dapat menahan apa yang meleteup di dalam dada. Entah kapan rasa ini datang. Menggoda hati dan pikiran. Semenjak engkau datang, hidup ini semakin berarti. Langkah ini begitu pasti dan tidak ada keraguan. Awal dari tatapan mata. Tak dapat aku tangkis. Dia memang tak bisa enyah dari beranda jiwa. Tak mampu untuk berkata, betapa saat ini dia begitu berarti. Walaupun pertemuan itu baru sekali, namun kekuatannya mampu menumbuhkan kilatan-kilatan rindu yang terus menyala. Pesonanya memang selalu membuat aku tersenyum,
Dear lelakiku…
Kini engkau akan jauh. Sangat jauh dari jangkauan mata. Aku tak yakin akan sanggup bertahan dalam puing-puing rindu yang mendalam. Walaupun pada akhirnya nanti kau pasti akan kembali, namun bagaimana caranya untuk bertahan dalam empat belas hari ke depan. Seperti ranting tak berdaun. Umpama benang yang terpisah dari jarumnya. Aku… sanggupkah. Wahai lelakiku. Dhandy Aditya Ardiansyah.
Annisa mengakhiri kata-katanya. Rapi diketik di Word dokumen handphonenya. Perwakilan hati yang saat ini sedang dia rasakan. Tentu saja untuk lelakinya. Dhandy Ardiansyah.
BERSAMBUNG ke episode berikutnya…
Hak Cipta Milik : Fakhrul Roel Aroel Hidayat