Lanjutan Cerbung Commuterline Love Story : Episode 25
Selama Dhandy dua minggu berada di Kyoto sana, terasa sangat lama di hati Annisa. Hari demi hari Annisa lalui dengan gerimis rindu yang terus turun di relung hatinya. Menghadirkan selimut dingin yang tak berkesudahan. Menantikan laki-laki itu pulang dalam keadaan selamat adalah harapan yang begitu besar di hati Annisa. Hal yang paling membahagiakan saat ini adalah, Dhandy datang padanya dalam keadaan baik-baik saja. Kejutan apapun tidak akan ada artinya bila Dhandy pulang membawa cerita enak. Oleh-oleh semahal dan sebanyak apapun akan sia-sia bila saat pulang ke Indonesia nanti, terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepada Dhandy.
Entahlah, semakin detik, menit, jam dan hari bertambah, Annisa merasakan sesuatu yang agak berlebihan tentang laki-laki itu. Sesuatu yang selama ini tidak pernah dirasakannya kepada laki-laki manapun. Setiap hari usai sholat lima waktu, Annisa tak lupa, senantiasa selipkan sebongkah doa yang tulus untuk Dhandy. Agar di sana, Dhandy baik-baik saja. Agar saat pulang nanti, laki-laki itu membawa kebahagiaan.
Dear lelakiku…
Di ruang rindu aku menepi
Menyimpan harapan dan juga asa
Kepada satu raga
Hingga hati tak mampu bicara
Hingga langkah tak mau berhenti
Setiap detik aku menunggu
Setiap jam hatiku merindu
Tak tahu… entahlah…
Mengapa aku seperti ini
Ibarat laut tidak berombak
Umpama pohon tak ada rantingnya
Itulah jiwaku saat ini
Dear lelakiku…
Di ujung malam kutetap setia
Sampai di tepi senja kutebar harap
Bersama serpihan doa di beranda hati
Aku menunggumu di sini
Hingga senyum kita indah tertiti
Dear lelakiku.
Pesan yang dikirim Annisa kepada Dhandy tidak lagi berupa kalimat biasa. Tidak lagi sekedar say helo semata. Namun Annisa mulai berani mengirimkan bait-bait puisi, perwakilan perasaan hatinya saat ini. Karena Annisa tahu, selama mengenal Dhandy walaupun baru sesaat, Dhandy tidak pernah bisa berkata-kata berkata-kata romantis seperti laki-laki pada umumnya. Malah Dhandy cenderung kaku dan biasa saja, namun Annisa tetap menantikannya.
Lama melihat ke layar handphone, belum ada tanggapan dari Dhandy. Bahkan sepertinya Dhandy belum membuka pesan puisinya. Mungkin di sana Dhandy sedang sibuk, atau sedang mengadakan meeting dengan Mister Nagao San yang sering diceritakannya bersama Pak Abdur Rahman. Atau bisa juga, Dhandy sedang mengunjungi kuil atau tempat yang lainnya dan tidak membawa serta handphonenya.
Menunggu Dhandy sampai membaca pesan puisinya, Annisa iseng membuka “galery” di handphonenya. Bukan foto keluarganya yang dia lihat. Bukan foto dia dan teman-temannya yang dia tuju, akan tetapi, Annisa melihat foto-foto yang dikirimkan Dhandy selama dia di Jepang. Pose Dhandy bila difoto lumayan kaku. Padahal tempat-tempat yang dikunjungi Dhandy, sangat indah dan menakjubkan. Dari kuil sampai taman bunga sakura. Dari danau yang indah sampai stasiun kereta yang oke punya.
Annisa tersenyum-senyum sendiri memperhatikan semua foto Dhandy. Semakin laki-laki itu ditatap dan diperhatikan, semakin Annisa merasakan sesuatu yang hebat di dalam dadanya. Selusup rasa itu kian menyusup. Mengembara ke setiap pelosok hati.
Trilit… Trilit… trilit…
Layar handphone Annisa langsung berubah. Pucuk dicintai, ulampun tiba, Dhandy Ardiansyah yang meneleponnya. Seringai tawa langsung mencuat di wajah Annisa. Bahagianya. “Mas Dhandy… alhamdulillah.”
“Assalamua’laikum Mas.”
“Waalaikum salam.”
“Koq nelpon sih. Nanti pulsanya cepet abis lho. Kan SLI.”
“Ya tinggal diisi lagi aja kalau habis, repot amat.”
“Iya sih bener, tapi kan…”
“Puisinya bagus Niss, aku suka.”
“Mas Dhandy udah baca?”
“Udah. Ajarin aku bikin puisi dong.”
“Buat apa Mas? Nggak romantis ya nggak romantis aja. Jangan dipaksa untuk romantis. Nanti pahit hasilnya.”
“Gitu ya, pelit sama aku.”
“Tapi dirindukan kan?”
“Hahahaha, bisa aja kamu. Oh iya Niss, ada kabar nggak enak nih. Dan kamu harus tahu…”
“Kabar buruk apa Mas, jangan bikin aku deg-degan deh.”
“Mmm… ngmmmhhh…”
BERSAMBUNG ke episode berikutnya…
Hak Cipta Milik : Fakhrul Roel Aroel Hidayat