Commuterline tujuan Tanah Abang dari arah Cisauk, masuk di jalur dua stasiun Serpong. Beberapa penumpangnya ada yang turun dan ada yang naik. Semua bergantian sesuai aturan. Termasuk Dhandy Aditya yang pagi itu hendak pergi beraktivitas di hari Sabtu ini. Ya. Untuk yang kesekian kalinya, Dhandy harus masuk di hari Sabtu. Karena volume pekerjaan di kantor memang sedang menumpuk. Awalnya Dhandy tidak bersedia untuk masuk. Namun karena Sujarwo rekannya yang akan menggantikan berhalangan hadir karena urusan keluarga, akhirnya Sabtu ini Dhandy lagi yang didaulat masuk. Ya sudahlah. Lumayan hasilnya nanti untuk ditabung, untuk biaya nikah. Hehehe.
Dhandy segera masuk ke dalam rangkaian kereta. Tempat duduk sudah terisi semua. Tiada satu pun yang tersisa. Malah, ada beberapa orang yang berdiri. Namun keadaan di sabtu seperti ini setidaknya lebih longgar dan lengang. Berbeda bila di hari kerja. Sampai stasiun Serpong, penumpang sudah menjejali rangkaian kereta. Tadinya, Dhandy bermaksud naik yang pemberangkatan dari stasiun Serpong, namun karena posisi keretanya masih lumayan jauh, yaitu di Pondok Ranji, Dhandy pun naik kereta yang pemberangkatan dari stasiun Parung Panjang. Terlebih dia harus cepat sampai kantor. Karena Pak Wawan bosnya, adalah tipikal pemimpin yang lumayan perfeksionis dan disiplin sekali. Sehingga, Dhandy tidak boleh datang terlambat sampai kantor.
Beberapa saat kemudian, kereta tujuan Tanah Abang diberangkatkan kembali dari stasiun Serpong. Dhandy berdiri bersandar di persambungan samping kursi prioritas. Situasi penumpang di dalam kereta cukup ramai. Mungkin banyak Ibu-ibu yang hendak berbelanja di pasar Tanah Abang. Karena Dhandy lihat, banyak sekali Ibu-ibu yang memadati kursi kereta. Bahkan tidak bisa dipungkiri, Ibunya sendiri pun sering berbelanja di Pasar Tanah Abang.
Untuk mengisi waktu hingga sampai stasiun Tanah Abang, Dhandy memainkan ponselnya. Namun ketika Dhandy hendak mengambil ponselnya di tas, di tempat duduk sebelah pintu sana, ada seorang perempuan yang terlihat sedang bersedih, bahkan menangis. Main handphone pun dia urungkan. Karena Dhandy melihat, perempuan itu nampak sedang mengobrak-abrik tasnya, seperti mencari sesuatu. “Kenapa dengan perempuan itu. Sepertinya sedang ada masalah.” Bisik Dhandy di dalam hatinya.
“Ada apa Mbak?” Tanya seorang Ibu yang duduk di sebelah perempuan itu.
“Handphone sama dompet saya hilang Bu. Nggak tahu hilang di mana. Padahal tadi saat naik di Parung Panjang, masih ada.” Lirih perempuan itu sambil terisak tangis.
“Coba dicek lagi, mungkin lupa taruh.”
“Saya yang taruh, tidak mungkin lupa. Aduh, bagaimana ini.” Perempuan itu terus mengobrak-abrik tak tentu isi tasnya. Padahal dia sudah mencarinya bolak-balik sedari tadi.
“Tidak salah lagi. Itu mah pasti dicopet Mbak.”
“Kayaknya sih gitu Bu. Aduh… bagaimana ini. Padahal di dompet itu ada surat-surat penting. Dan handphonenya, baru dua hari saya beli.”
“Sepertinya pas di Cisauk tadi deh Mbak. Soalnya, tadi saya lihat ada cowok yang gelagatnya agak aneh di samping Mbak. Memang tadi Mbak nggak sadar?”
“Saya nggak inget apa-apa Bu.”
“Lain kali hati-hati Mbak. Waspada. Copet mah nggak kenal waktu dan tempat.”
Tak ada kata-kata lagi dari mulut perempuan itu. Dia sangat sedih dan terpukul sekali. Titik-titik air mata mengalir hangat menelusuri pipinya yang putih. Namun di saat perempuan itu sibuk dengan tangisnya, ada sebuah tangan mengulur dan memberikan sapu tangan warna biru muda kepada perempuan itu.
“Ini sapu tangan untuk menghapus air mata kamu. Pakailah.” Dhandy. Dia yang memberikan sapu tangan itu.”
Perempuan itu sesaat melihat sapu tangan warna biru muda itu, yang mengulur di depan matanya. Sejenak perempuan itu terdiam. Hingga akhirnya perlahan tatapannya di tujukan kepada sang pemberi sapu tangan. Dan akhirnya, tatapan itu pun beradu. Dhandy menatap sendu perempuan itu, begitupun sebaliknya.
“Hapuslah air mata kamu. Jangan menangis lagi.” Imbuh Dhandy kemudian.
BERSAMBUNG ke episode berikutnya…
Hak Cipta Milik : Fakhrul Roel Aroel Hidayat