Lanjutan Cerbung Panggil Dia Ibu : Episode 20
Perlahan-lahan, kereta tujuan Jakarta Kota meninggalkan stasiun Depok Baru. Meninggalkan para penumpang yang turun di sana. Sementara itu situasi di dalam rangkaian kereta yang Wawan naiki, penumpangnya tidak selonggar tadi. Sudah banyak yang menjejali kereta. Elmeira dan Habibi duduk menunggu apa yang akan dikatakan oleh Ayah mereka.
“Habibi… Elmeira. Setiap orang pernah mengalami hal yang buruk dan pahit di dalam hidupnya. Bahkan, karena saking pahit dan buruknya, ada beberapa dari mereka yang sudah lupa bagaimana caranya untuk tersenyum. Permasalahan demi permasalahan mereka hadapi setiap hari, bahkan sampai bertahun-tahun lamanya.”
Ada yang ditinggal orangtuanya, ada yang kehilangan suami atau istrinya. Ada yang dilahirkan dengan keterbatasan. Bahkan, banyak pula anak yang dibuang begitu saja oleh Ibu atau Ayahnya karena terpaksa. Namun pada kenyataannya, mereka tetap menghadapi hidup dan kehidupan Ini dengan hati ikhlas dan sabar. Karena mereka sadar, bahwa semua itu sudah skenario dari Allah. Tidak seorang pun yang bisa merubahnya.
Namun bagaimana caranya agar mereka bisa bisa tetap tegar dan melanjutkan hidup. Ada yang mengambil cara yang benar, namun banyak juga yang mengambil cara yang salah dan melanggar dari norma-norma dan agama yang ada. Semua tergantung kepada niat masing-masing orang. Segala perbuatan, ada risiko dan konsekuensi yang harus diambil.
Begitupun dengan kalian berdua. Tentunya punya cerita pahit ataupun kisah yang sangat tidak enak. Seperti yang kalian ketahui, bahwa sejak kalian masih kecil, Ibu kalian sudah pergi begitu saja tanpa memikirkan nasib dan hidup kalian seperti apa. Ayah akui, dulu Ibu memang kasar dan kejam kepada kalian. Dulu Ibu sering berbuat kasar kepada kalian dan juga kepada Ayah.
Itu karena apa. Karena pada dasarnya itu adalah salah Ayah sendiri. Sebenarnya Ayah belum terlalu siap untuk berumah tangga dan menjadi seorang Ayah. Pada saat itu Ayah tidak tahu dan tidak pernah memikirkan bagaimana rasanya punya istri dan punya anak. Yang ada dalam pikiran Ayah saw itu adalah, hanya perasaan cinta dan cinta kepada Ibu kalian. Mengenai hidup ke depannya seperti apa, Ayah tidak pernah memikirkannya.
Saat itu Ayah dan Ibu sama-sama masih muda, namun dengan beraninya memutuskan untuk menikah muda. Namun setelah menikah dan punya anak, apa akhirnya. Ternyata Ayah belum siap seratus persen untuk menghidupi istri dan juga anak. Karena menafkahi anak dan istri itu, bukanlah pekerjaan yang mudah. Ayah harus giat bekerja dan mencari cara bagaimana agar Ibu dan kalian berdua bisa makan.
Mungkin karena bosan, atau memang tidak pernah memikirkan hal-hal yang tidak enak dalam sebuah pernikahan, akhirnya Ibu kalian mulai berubah. Ibu kalian mulai memperlihatkan sisi tidak baiknya. Dia menjadi seorang pribadi yang egois, penuntut, keras kepala, pemarah dan juga pemberontak. Ayah shock dan kaget dengan perubahan sikap Ibu kalian.
Pada dasarnya Ibu kalian wajar-wajar saja bersikap seperti itu. Karena dia tidak ingin kalian itu tidak makan, kalian itu hidup menderita. Di hati Ibu kalian, kebahagiaan tetap menjadi prioritas utama untuk kalian berdua. Namun karena dia tidak sabar dan sudah dirasuki hawa nafsu, akhirnya dia semakin di luar batas. Dan akhirnya meninggalkan kita semua.
Jujur. Ayah kecewa, sakit hati bahkan juga marah dengan sikap Ibu kalian. Koq tega, koq sampai hati. Meninggalkan Ayah dan juga kalian berdua begitu saja. Namun Ayah segera sadar, mungkin itu sinopsis kehidupan yang harus Ayah jalani. Allah menilai Ayah mampu, menanggung itu semua. Tidak ada yang bisa merubah atau menghentikannya. Pahit ataupun tidak, semua itu Ayah jadikan pelajaran.
Dan saat ini Ibu kalian telah kembali. Dia datang untuk melampiaskan kerinduannya kepada kalian. Dia ingin melihat bagaimana darah dagingnya kini. Dia hanya ingin memeluk, bagaimana anak-anak yang dulu pernah menghuni rahimnya selama sembilan bulan. Hanya itu. Buncah-buncah kerinduan, letup-letup kebahagiaan tidak bisa dibendung lagi. Tapi kalian… Ahhh.
Kalau harus ditanya dan dibandingkan, siapa yang lebih sakit ketika perempuan yang bernama Yulia berbuat kejam sepertiitu. Jawabannya, tentu saja Ayah yang Nak. Ayah. Hati Ayah sakit sesakit-sakitnya. Harga diri Ayah sudah diinjak-injak dan diobrak-abrik oleh seorang perempuan yang bernama Yulia. Terlalu banyak penghinaan dan ludah yang dicipratkan ke wajah Ayah dari hati Ibu kalian. Ayah Nak. Ayah yang hancur.
Tapi Ayah segera sadar lagi. Tidak baik menyimpan amarah dan dendam kebencian kepada seseorang yang dulu pernah Ayah sayangi dan Ayah puja. Walaupun pernah terlintas ingin membalas semua perlakuan dia, tapi Ayah segera ingat Allah. Ada Allah yang lebih layak dan lebih pantas, apa yang harus dilakukan kepada Ibu kalian.
Elmeira… Habibi… Ayah tidak mau kalian menjadi orang-orang yang sombong yang tidak mau memaafkan kesalahan sikap Ibu kalian. Ayah tidak ingin kalian menjadi anak yang durhaka dan tidak mendapatkan ridho dari Allah. Ayah tidak mau itu. Ketahuilah, seringkali Ayah mengatakan kepada kalian, bahwa salah dan khilaf itu mutlak milik manusia. Jika kalian sudah merasa telah bersih dari dosa dan kesalahan, silakan kalian lanjutkan dendam dan rasa benci kepada Ibu kalian.
Tapi bila masih sering melakukan khilaf, kalian tidak pantas bersikap kasar dan emosional seperti itu kepada Ibu kalian. Itu namanya angkuh, merasa diri bersih dari dosa. Ingatlah Elmeira, Habibi… sejahat dan sekejam apapun sikap Ibu Yulia, sampai kiamat pun dia adalah Ibu kandung kalian berdua. Yang harus kalian hormati dan kalian sayangi. Ayah mohon sama kalian, jadilah anak yang pemaaaf. Karena Allah saja maha pengampun.
Tanda-tanda manusia yang tidak akan pernah mencium wangi surga adalah manusia yang sombong yang durhaka kepada Ibu kandungnya sendiri. Dan Ayah tidak mau kalian menjadi seperti itu. Ayah bicara panjang lebar seperti ini karena Ayah sayang sama kalian berdua. Ayah tidak ingin kalian menjadi anak yang durhaka. Tidak mau.
Di akhir pembicaraannya, tanpa terasa sebulir air mata meleleh hangat di kedua pipi Wawan.
“Ayah… jangan menangis Ayah.”
“Abib sayang sama Ayah.”
“Aku juga sayang sama Ayah.”
“Kalau kalian memang benar-benar sayang sama Ayah. Ayah minta… pergilah ke pelukan Ibu Yulia, Ibu kalian. Menangislah dan mohon ampun padanya. Panggil dia Ibu. Panggil dia Ibu. Ayah mohon.”
Elmeira dan Habibi menenggelamkan kepala mereka di pelukan Wawan. Entah pelukan penyesalan, atau ada tangis di dalamnya. Sementara itu commuterline tujuan Jakarta Kota terus melaju dan melesat, meninggalkan stasiun demi stasiun dengan pasti.
BERSAMBUNG ke episode berikutnya…
Hak Cipta Milik : Fakhrul Roel Aroel Hidayat