Lanjutan Cerbung Panggil Dia Ibu : Episode 8
Beberapa penumpang stasiun Citayam yang melintas dan sedang menunggu kereta melihat Yulia melingkarkan kedua tangannya di pinggang Wawan. Ada beberapa ekspresi yang tidak enak untuk dilihat. Wawan menyadari akan hal itu. Dia pun segera menyarankan Yulia untuk melepaskan kedua tangannya.
“Yulia, ini bulan Ramadhan. Di stasiun pula. Sebaiknya kamu lepaskan. Tidak enak dilihat banyak orang.”
“Oh iya maaf. Maafkan aku Kang. Aku refleks.”
“Kita bukan suami istri lagi seperti dulu. Khawatir menjadi fitnah.” Imbuh Wawan kemudian.
“Iya aku salah, sekali lagi aku minta maaf. Mungkin aku terlalu terbawa perasaan Kang.” Yulia menggeser badannya agar sedikit menjauh dari Wawan. Dengan wajah menunduk, dia merasa malu.
Beberapa saat setelah itu, dari arah utara, tiba commuterline tujuan Bogor dengan penumpangnya yang tidak seberapa. Saat kereta berhenti sempurna, beberapa penumpangnya ada yang turun ada juga yang naik. Wawan menatap Yulia dengan berbagai macam perasaan. Kasihan dia. Ternyata hidupnya setelah bercerai darinya sangat memprihatinkan. Tersiksa dan menderita karena ulah suaminya yang bernama Azwar itu.
Sejujurnya bila harus dikatakan, sebenarnya Wawan ingin kembali lagi dan rujuk dengan Yulia. Karena hingga saat ini, cinta itu tidak pernah padam untuk Yulia. Kendati Yulia dulu seperti apa dan bagaimana, namun Wawan tidak peduli. Dia menganggap semua itt adalah masa lalu dan bagian dari ujian hidup. Tentang pekerjaan hina yang dulu pernah digeluti oleh Yulia, Wawan bisa memakluminya. Karena pada saat itu Yulia masih terlalu muda dan masih ingin mencari kesenangan.
Selain itu, Wawan juga memikirkan Elmeira dan Habibi. Kedua anaknya itu sangat benci dengan Yulia dan tidak pernah mau memanggilnya Ibu. Terlebih lagi Elmeira. Anak perempuannya itu paling muak bila Wawan sudah membicarakan Yulia. Membahas Yulia, berarti ribut di ujung. Padahal Wawan tidak pernah mengajarkan kepada Habibi dan Elmeira untuk membenci Yulia Ibu kandung mereka. Justru sebaliknya Wawan menginginkan kedua anaknya bisa menyayangi Yulia. Namun hingga kini, kedua anaknya itu masih rapat-rapat menutup pintu hati mereka untuk Yulia.
“Kang, sebenarnya aku sudah melihat Elmeira dan Habibi dan juga Kang Wawan di lantai bawah stasiun Juanda saat itu. Ketika Elmeira membawa koper banyak. Saat itu Kang Wawan melihat aku kemudian mencari-cari aku di kereta sebelah. Aku sengaja menghindar saat itu, karena aku tidak mau Elmeira dan Habibi bertambah marah. Karena aku tahu, mereka tidak menerima kehadiran aku. Padahal aku sangat rindu dengan mereka. Aku ingin memeluk mereka berdua. Sebagai seorang Ibu yang sudah melahirkan mereka, aku ingin sekali berada di dekat mereka.
Tapi sepertinya Elmeira dan Habibi sangat membenci aku Kang. Mereka berdua jijik kepadaku. Terlebih lagi Elmeira, dia sangat muak padaku. Ya, wajar saja dia bersikap seperti itu. Karena dulu ketika dia kangen sama aku dan merengek-rengek, aku tidak pernah menggubrisnya. Aku sering mengabaikannya. Bahkan terkadang, tak segan-segan aku menendangnya. Mungkin hal keji itu yang termemori dalam ingatan Elmeira. Aku memang jahat, aku tidak punya perasaan. Dan aku pantas diperlakukan seperti itu oleh putri kandungku sendiri.
Sudahlah Yulia, kamu tidak perlu menatap ke belakang. Yang harus kamu pikirkan sekarang adalah, bagaimana caranya agar kamu dan anak-anak bisa saling mengasihi satu sama lain. Aku ingin kamu dan anak-anak dekat. Seperti seorang Ibu dengan anak-anaknya. Karena bagaimanapun juga, kalian adalah satu darah. Kamu sudah mengandung dan melahirkan mereka dari rahim kamu. Aku ingin, kalian hidup rukun.
“Tapi Mas. Mereka…”
“Aku akan berusaha untuk meyakinkan mereka Yulia. Perlahan-lahan aku akan bujuk. Kamu juga bantu doa, semoga Habibi dan Elmeira mau menerima kamu sebagai Ibu kandungnya.”
“Iya Kang, aku akan berdoa untuk anak-anak. Toh walaupun mereka tetap tidak bisa menerima aku, aku pasti akan mendoakan mereka dari kejauhan. Yang pasti aku sangat berterima kasih sama kamu Kang. Ternyata kamu bisa merawat, membesarkan dan mengurus anak-anak sendirian dengan kedua tangan Kang Wawan sendiri.”
Aku salut, aku bangga sama Kang Wawan. Padahal dulu aku sempat berpikiran, bahwa kamu tidak akan pernah bisa mengurus anak-anak sendirian Kang. Tapi ternyata selama ini penilaian aku salah. Kang Wawan mampu. Kang Wawan hebat. Terima kasih, terima kasih aku ucapkan karena Akang sudah berhasil menjaga dan merawat anak-anak dengan baik.
Wawan tak menanggapi ucapan Yulia, dia hanya terdiam. Ya. Yulia yang dulu kasar, galak dan tempramental kini tak nampak lagi. Yulia yang egois, ingin menang sendiri dan keras kepala, kini hilang entah kemana. Yang Wawan lihat sekarang adalah Yulia yang keibuan, tutur katanya yang lemah lembut dan sangat perasaan. Alhamdulillah. Tanpa harus Wawan ajari, Yulia kembali ke sifatnya dulu ketika Wawan pertama kali bertemu dengannya. Namun sekarang yang menjadi PR untuk Wawan adalah menyadarkan hati Elmeira dan Habibi agar mau menerima Yulia sebagai Ibu kandung mereka.