Lanjutan Cerbung Panggil Dia Ibu : Episode 5
Commuterline tujuan Bogor yang dinaiki Wawan dan kedua anaknya tertahan sinyal masuk stasiun Manggarai. Dan keadaan seperti itu adalah hal yang biasa. Mereka semua sangat memakluminya. Semua KRL yang akan memasuki stasiun Manggarai, memang harus melewati fase tersebut. Para penumpang yang sedang terburu-buru dan tidak sabaran, nampak memperlihatkan kekesalan mereka. Yang bersungut-sungut, mengomel, bahkan yang sumpah serapah juga ada. Namun yang tetap diam menunggu dengan sabar juga ada. Semua tergantung kepada karakter orangnya tersebut.
Sementara dengan Yulia yang masih berdiri memperhatikan Wawan dan kedua anaknya, tidak mempedulikan semua itu. Mau tertahan sinyal atau tidak, Yulia tidak memikirkannya. Yang dia pikirkan hanya sikap Elmeira putrinya yang sangat memperlihatkan kemarahan dan dendam padanya. Kata-katanya tadi sangat menegaskan, bahwa anak itu masih sakit hati dan terluka atas sikap kejam Yulia yang dulu. Yulia terima semua ucapan dan sikap Elmeira. Sangat pantas baginya Elmeira bersikap seperti. Karena Yulia tahu diri apa yang diperbuatnya dulu.
Ketika sedang larut dan tangis dan air mata, entah bagaimana ceritanya tiba-tiba saja Wawan melayangkan pandangan tepat kepada Yulia. Namun Yulia sadar, dia sedang memakai masker. Mustahil Wawan bisa mengenalinya. Secara, beberapa tahun mereka tidak bertemu. Namun sepertinya tatapan Wawan tertuju cukup lama ke wajah Yulia. Sampai-sampai membuat jantung Yulia berdebar. Jangan-jangan Wawan masih mengenalinya. Ahhh, tapi mana mungkin. Bagaimana caranya. “Nggak, jangan sampai Kang Wawan ngenalin aku. Aku harus pergi. Aku harus pergi.”
Beberapa saat setelah hatinya berbisik, Yulia pun beranjak dari tempatnya berdiri dan melangkah menuju ke kereta belakang.
“Tunggu!” Suara itu dari mulut Wawan. Laki-laki itu sampai berdiri dan beranjak dari tempat duduknya. Membuat Elmeira dan Habibi bingung.
“Ayah mau kemana Yah. Ayah.” Elmeira bertanya keheranan.
“Iya nih Ayah. Lihat siapa sih.” Habibi menambahkan.
“Kalian berdua tunggu di sini ya. Ayah segera kembali.”
Beberapa saat setelah itu, Wawan pun mengejar Yulia yang sudah melangkah ke kereta belakang. Wawan melangkah bergegas menuju ke kereta belakang. Dia pun segera mencari sosok perempuan bermasker yang dilihatnya tadi yang sepertinya dia kenal. Ya. Mata itu, Wawan tidak mungkin lupa. Tatapan mata Wawan dilayangkan ke sekitar kereta dan mencari perempuan bermasker tadi. Satu persatu Wawan cari. Namun sepertinya perempuan itu tidak terlihat. Cepat sekali menghilangnya. “Seperti Yulia. Iya, aku kenal dengan mata itu. Aku tidak mungkin lupa.”
“Cari siapa Pak?” Seorang petugas PKD yang menghampirinya langsung bertanya.
“Mmm, seseorang Pak. Tapi sepertinya dia tidak ada. Ya sudahlah.” Tadinya. Wawan masih ingin mencari sosok perempuan bermasker yang seperti Yulia itu. Namun karena dia ingat Elmeira dan Habibi sedang menunggunya, dia pun balik arah.
“Cari siapa sih Yah? Sepertinya penting banget ya.” Tanya Elmeira ketika Ayahnya sudah sampai di tempat duduknya.
“Iya nih Ayah, sampai segitunya.”
“Ayah tadi seperti melihat Ibu kalian di kereta ini.”
“Apa?! Ahhh… Ayah berhalusinasi kali. Dia tidak mungkin ada di sini. Dia sekarang pasti sudah bahagia dengan kekayaannya.” Nada bicara Elmeira sangat tidak enak didengar.
“Elmeira… Ibu. Bukan dia. Apa susahnya sih ‘Panggil dia Ibu’. Biasakan dari sekarang.”
“Ihhh, sorry ya. Aku nggak punya Ibu. Aku sama Abib cuma punya Ayah. Bener nggak Bib.”
“Betul itu.”
Kalian berdua tidak boleh seperti itu sama Ibu kalian. Ayah tidak pernah mengajarkan dendam kepada kalian. Ayah tidak mau kalian seperti itu sama. Ibu memang sudah bersalah, sudah bersikap kejam sama kita bertiga. Tapi kalian harus tetap menyayanginya. Mungkin dulu Ibu kalian sedang khilaf. Manusia itu kan tidak luput dari kesalahan. Allah saja maha pemaaf. Masa kalian nggak sih. Apalagi sebentar lagi mau puasa. Hati kalian harus bersih.
Kadang aku tidak habis pikir sama Ayah. Hati Ayah itu terbuat dari apa sih. Koq mau memaafkan dia yang sudah jelas-jelas meninggalkan Ayah. Memperlakukan Ayah dengan kasar. Bahkan menganggap Ayah seperti gelandangan. Bukan hanya itu, dia juga telah merampas semua uang tabungan Ayah saat itu. Padahal dia tahu bahwa dulu aku dan Abib masih kecil. Masih membutuhkan banyak biaya untuk hidup. Setelah itu dia minta cerai dan meninggalkan Ayah. Apa dia masih pantas di panggil Ibu. Apa masih berhak surga ada di telapak kakinya. Heuhh. Sorry Yah. Bagi aku, dia bukan manusia. Tapi penjahat yang kejam.
“Elmeira astagfirullahaladzim. Kamu jangan begitu sayang. Tidak baik. Maafkanlah Ibu kamu Nak.”
“Dia itu seorang perempuan, tapi sikapnya tidak mencerminkan seperti itu. Elmei pikir, Ayah terlalu baik padanya. Nanti dia bisa ngelunjak Yah.”
“Sudahlah. Ayah tidak mau berdebat dengan kamu lagi. Ujung-unjngnya jadi seperti ini.”
Tak ada ada lagi yang bersuara. Baik Elmeira atau Wawan, keduanya terdiam. Sementara itu perlahan-lahan, commuterline tujuan Bogor, mulai bergerak dan memasuki stasiun Manggarai.
BERSAMBUNG ke episode berikutnya…
Hak Cipta Milik : Fakhrul Roel Aroel Hidayat