Cerbung Panggil Dia Ibu : Episode 1
Sedari tadi Wawan memperhatikan seorang laki-laki yang sedang membawa dua anak laki-lakinya yang masih kecil-kecil. Yang satu mungkin sekitar lima tahun, dan yang satunya lagi tiga setengah atau empat tahunan. Yang jelas, mereka terlihat sangat mengantuk. Laki-laki itu duduk di kursi prioritas. Alhamdulillah, commuterline tujuan Jakarta Kota yang dinaikinya tidak terlalu penuh. Mungkin karena hari sudah gelap. Selain itu kereta di depan jaraknya tidak terlalu jauh.
Laki-laki itu mengusap-usap lembut secara bergantian kedua anaknya agar tertidur pulas. Yang satu tidur di kursi prioritas. Sedangkan anak yang satu lagi ada dalam pangkuannya. Rasa lelah, terlihat jelas di wajah laki-laki yang masih terbilang muda itu. Sepertinya mereka baru saja sudah bepergian jauh atau liburan. Jujur, melihat keadaan itu, Wawan jadi teringat beberapa tahun ke belakang. Ya. Apa yang sedang disaksikannya saat ini, Wawan seperti sedang bercermin ke masa lalunya.
Ya. Saat itu Habibi dan Elmeira Anak-anak nya Wawan masih kecil seperti kedua anak laki-laki itu. Hampir setiap malam pun Wawan menempuh perjalanan dari Bojonggede sampai Juanda hanya untuk menemui Yulia Salsabila istrinya yang saat itu tidak pulang-pulang ke rumah. Menurut tetangganya Wawan, Ibu Martini, bahwa Yulia istrinya sering terlihat di sekitaran stasiun Juanda sedang ngumpul-ngumpul dan nongkrong bersama laki-laki yang tidak jelas.
Sungguh, kalau Wawan flashback ke belakang, dia tak sanggup untuk membayangkannya lagi. Pernikahannya dengan Yulia saat itu tidak bertahan lama. Mungkin karena saat menikah dengan Yulia, baik Wawan maupun Yulia masih sama-sama muda, belum genap dua puluh tahun. Namun karena saat itu Wawan demikian jatuh cinta kepada Yulia, akhirnya dia berani melamar dan menikah dengan perempuan itu walaupun kedua orangtua masing-masing pada awalnya tidak setuju karena usia mereka yang masih sangat belia. Namun saat itu akhirnya Wawan mampu meyakinkan kedua orangtuanya dan orangtua Yulia, bahwa dia berjanji akan membahagiakan Yulia.
Mungkin karena masih terlalu muda dan belum mendapatkan pekerjaan yang tetap, di usia pernikahan yang ke lima, Wawan dan Yulia pun akhirnya resmi bercerai. Seperti pada umumnya, Yulia lah yang pertama kali meminta cerai kepada Wawan karena tak tahan hidup dalam kekurangan materi. Sedangkan mereka sudah punya dua anak saat itu. Karan yang saat itu masih kerja serabutan, pada akhirnya tidak bisa diterima oleh Yulia.
Setelah mereka bercerai, mereka membuat kesepakatan hak asuh anak dua-duanya jatuh ke tangan Wawan. Ya. Saat Wawan menawarkan hak asuh anak kepada Yulia, dengan tegas dan cepat Yulia menolak. Dia sama sekali tidak mau mengurus Habibi dan Elmeira yang dua-duanya sudah dikandungnya selama sembilan bulan. Menurut Yulia saat itu, dia masih ingin menikmati hidup dan masa mudanya yang sudah terlepas belum waktunya. Janji yang diucapkan Wawan saat mereka pacaran, rupanya tidak bisa ditepati. Yulia kecewa. Yulia marah. Lima tahun dia bersabar, menunggu Wawan punya pekerjaan yang benar dan tetap.
Namun pada akhirnya Yulia tidak sabar untuk menunggu. Dia tidak kuat hidup dalam kemiskinan, terlebih harus mengurus dua anak yang masih kecil-kecil saat itu. Wawan bersikeras tidak mau bercerai, karena dia masih sangat mencintai istrinya itu. Wawan tetap ingin memperjuangkan pernikahannya. Namun semakin dipertahankan, sikap Yulia semakin tidak berprikemanusiaan kepada Wawan dan juga kedua anaknya.
Habibi dan Elmeira saat itu yang masih membutuhkan kasih sayang dari seorang Ibu, namun Yulia cenderung cuek bahkan sering marah-marah. Bahkan tak segan-segan Yulia memukul kedua anaknya kalau sedang rewel dan cengeng. Sikap lembut dan keibuan, tidak pernah diperlihatkan oleh Yulia kepada Habibi dan Elmeira. Sungguh, bila mengingat itu, Wawan tak kuasa untuk menumpahkan air matanya.
Semenjak bercerai, Wawan sering mendengar kabar dari Ibu Martini bahwa Yulia sering bersama banyak laki-laki di stasiun Juanda. Bahkan saat itu, gaya berpakaian Yulia semakin menjadi. Tak tertutup seperti dulu lagi. Dan Wawan sangat miris dan sedih. Terlebih, dia melihatnya secara langsung dengan membawa Habibi dan juga Elmeira.
“Ngapain lo ke sini sama anak-anak lo. Kita kan udah cerai. Kita nggak ada hubungan apa-apa lagi. Dengar ya Wawan Kurniawan, elo jangan coba-coba ganggu hidup gue lagi. Mendingan elo pergi jauh deh sama kedua anak lo yang cengeng-cengeng ini. Sono lo!”
“Astagfirullahaladzim Yulia…”
“Eh, nggak usah istighfar-istigfar deh lo. Ini bukan masjid.”
“Kenapa kamu jadi seperti ini Yulia, kamu…”
“Elo belum budek kan Wan, gue bilang pergi ya pergi.”
Saking marah dan kasarnya, Wawan yang sedang menggendong Habibi dan Elmeira, ditendang dan didorongnya hingga terjatuh. Seketika Habibi dan Elmeira kecil, menangis. Wawan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa diam. Melayani orang yang sudah dirasuki nafsu dan emosi, sampai kapanpun tidak akan pernah menang. Walaupun sangat menyakitkan, namun Wawan harus telan semua itu.
Tanpa terasa, sebulir air mata merebak dan pecah di kedua mata Wawan. Tanpa Wawan sadari dia sampai menangis lagi mengingat hal itu. Seorang penumpang perempuan yang duduk di sebelahnya menatapnya kasihan. Ahhh…
BERSAMBUNG ke episode berikutnya…
Hak Cipta Milik : Fakhrul Roel Aroel Hidayat