PANGGIL DIA IBU : EPISODE 4

Lanjutan Cerbung Panggil Dia Ibu : Episode 4

 

Wawan dan kedua anaknya segera masuk ke dalam commuterline tujuan Bogor. Alhamdulillah situasi di dalam kereta tidak terlalu penuh. Masih banyak space untuk duduk. Barang-barang bawaan dan jinjingan yang berat, mereka taruh di rak bagasi atas dengan rapi, pelan-pelan dan hati-hati. Namun tanpa mereka sadari, dari jarak yang tidak terlalu jauh, seorang perempuan memperhatikan mereka bertiga dari dekat pintu sambil memakai masker dengan kedua mata yang mulai sembab.

 

Melihat Wawan dan kedua anaknya, perempuan bermasker itu semakin berdebar perasaannya. Mereka terlihat sangat bahagia, rukun dan baik-baik saja. Tak nampak kesedihan dan duka dari wajah mereka. Terbersit dalam hati perempuan itu ingin menghampiri, namun dia berpikir seribu kali. Mungkinkah Wawan dan kedua anaknya mau menerima kedatangannya. Yulia, dialah perempuan bermasker itu. Sepertinya, sangat rindu kepada suami dan kedua anaknya. Elmeira dan Habibi. Sedari tadi Yulia tak henti berbisik dalam hatinya. Ingin menemui mereka dan meminta maaf.

 

Namun, mungkinkah suami dan kedua anaknya itu bisa memaafkan setelah apa yang dilakukannya dulu. Karena sebentar lagi Bulan Ramadhan, Yulia hanya ingin menemui mereka setelah sekian tahun lamanya tidak bertemu. Dimaafkan atau tidak, itu tergantung nanti. Yang penting niatnya tulus ingin menebus kesalahan. Namun keraguan dan rasa malu itu senantiasa menghampirinya. Tak bisa membayangkan bagaimana reaksi suami dan kedua anaknya. Sudah pasti mereka akan marah dan mengusirnya. Hahhh, Yulia tidak bisa membayangkan akan hal itu.

 

Sementara itu di tempat duduk, Wawan dan kedua anaknya nampak sedap bercakap-cakap. Wawan dan Habibi bergantian bertanya kepada Elmeira tentang kesan-kesannya berada di Bali selama seminggu. Dan dengan penuh kegembiraan, Elmeira menceritakannya.

“Nanti kalau Elmeira punya rezeki lebih atau sudah bekerja, kita liburan sama-sama ya ke sana. Ayah dan Abib.”
“Asik pergi ke Bali. Mau lihat bule-bule cakep.” Habibi mulai dengan ceplas-ceplosnya.
“Hussshhh, nggak boleh.” Elmeira langsung menyela.”
“Nggak usah juga nggak apa-apa Elmei. Melihat kamu bahagia seperti ini saja, Ayah sudah senang. Yang penting kamu sekolah yang rajin. Yang printer, biar dapat beasiswa ke perguruan tinggi nanti.”
“Iya Ayah, Elmei akan semakin rajin belajar.”

 

Pokoknya kalian berdua nggak boleh ngecewain Ayah. Harus sungguh-sungguh. Ayah akan berusaha sekuat tenaga untuk kalian agar kalian menjadi orang-orang hebat. Dan kamu Abib, kamu fokus sama pekerjaan dulu, jangan mikirin cewek atau pacaran, Ayah tidak mau karena hal itu nilai pelajaran kamu di sekolah jadi anjlok. Apalagi ini sebentar lagi mau bulan puasa, harus meningkatkan ibadah, jangan mainnya atau nongkrongnya.

“Tuhhhh dengerin tuh Ayah ngomong apa. Nggak boleh pacaran dulu. Masih bau kencur. Baru kelas delapan.”
“Iya, iya. Nggak pacaran koq.”
“Dan kamu aku. Kamu harus jadi perempuan yang terhormat. Harus bisa menjaga diri kamu. Jangan salah langkah kemudian terjerumus. Ayah nggak mau itu. Karena kamu adalah perempuan satu-satunya.”
“Iya Ayah, terima kasih. Aku akan ingat nasihat Ayah itu. Aku tidak akan lupa.”

 

Tanpa rasa malu dan canggung di depan umum seperti itu, Elmeira memeluk Ayahnya dengan rasa bahagia. Habibi pun mengikutinya kemudian. Melihat kejadian itu, dari dekat pintu, Yulia hanya bisa menangis. Dia mengharapkan ada di antara mereka. Memeluk kedua anaknya, “Ya Allah, aku rindu mereka. Aku ingin berada di antara mereka.” Satu persatu air mata itu jatuh menetes di kedua mata Yulia.

“Ibu kalian pasti bahagia melihat kalian sudah sebesar ini.” Di tengah-tengah rasa bahagia menyelimuti, tiba-tiba saja Wawan bicara seperti itu. Dan seketika Elmeira dan juga Habibi melepaskan pelukan mereka.
“Nggak usah bahas-bahas dia deh Yah. Aku nggak mau ngedengernya. Alergi.” Ucap Elmeira dengan nada sinis dan jijik. Begitupun dengan Habibi.
“Kamu nggak boleh begitu sayang, dia itu Ibu kamu.”
“Di hatiku dan bagiku, Ibu sudah mati Yah. Nggak ada.”
“Nah, bener banget teh. Orang jahat seperti itu, ngapain diingat-ingat. Dia sudah meninggalkan Ayah dan menyakiti kita berdua. Wanita macam apaan tuh.”
“Astagfirullahaladzim Elmeira, Habibi. Nggak boleh gitu ah. Itu kan Ibu kandung kalian. Yang telah melahirkan kalian.” Kalian berdua harus menghormati dan mencintainya.”

 

Ayah, kita juga tahu. Perempuan itu tidak mencintai kita. Dia pergi begitu saja. Apa pantas dia dibilang “Ibu”. Kalau memang dia itu seorang Ibu, dia tidak mungkin menyakiti aku dan Abib. Dia meninggalkan Ayah karena dia kejam. Dia jahat. Bagaimanapun aku tidak mungkin lupa Yah. Perempuan itu yang sudah membuat hidup Ayah sengsara. Perempuan itu juga yang hampir membuat nyawa Habibi terenggut. Aku tidak mungkin melupakan semua itu. Dan hingga saat ini aku masih sakit hati.

“Elmeira sayang, jangan begitu ah. Nggak baik. Ibu kamu memang seperti itu, yang penting kamu jangan menirunya. Tapi untuk mencintai dan menghormatinya, itu harus.”
“Aku hanya kasihan sama Ayah. Aku bisa bayangkan bagaimana Ayah memperjuangkan aku dan Abib untuk tetap hidup dan bertahan. Sementara dengan dia, malah kabur dan menjadi perempuan kotor.”
“Astagfirullahaladzim Elmeira, pelankan suara kamu. Nggak baik bicara seperti itu.”
“Dia itu pantas diperlakukan seperti itu. Dia itu tidak punya perasaan. Dia perempuan jahat dan tidak punya rasa kasihan. Jadi… ngapain juga aku menghormati dia. Ogahhh.

 

Dari dekat pintu, Yulia menangis sejadi-jadinya. Hati dan batinnya terluka. Elmeira demikian membencinya, tidak suka padanya. “Astagfirullahaladzim. Elmeira… puaskan Nak, lampiaskan semua kebencian kamu sama Ibu. Ibu ikhlas… Ibu rela.” Rintih Yulia di dalam hatinya.

 

BERSAMBUNG ke episode berikutnya…

Hak Cipta Milik : Fakhrul Roel Aroel Hidayat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *