Yang terhormat,
Ibu Wiwik Widayanti
Dengan semakin seringnya perjalanan kereta (perka) Greenline tidak sesuai dengan Gapeka, mengalami keterlambatan yang meleset jauh dari jadwal, dan berakibat penumpukan penumpang di stasiun-stasiun, dengan ini kami mohon agar di Stasiun Rawabuntu pintu KRL dibuka di kedua sisinya, kanan dan kiri, agar penumpang yang menumpuk bisa masuk ke dalam KRL (yang sudah padat), dengan tujuan agar TIDAK SEMAKIN TERLAMBAT SAMPAI DI TEMPAT KERJA.
Satu contoh kasus adalah pada 17 Oktober 2018. KA 1927 yang seharusnya berangkat dari Rawabuntu pukul 06.18, baru masuk Rawanbuntu 06.31. 13 menit keterlambatan pada jam berangkat kerja di jalur Greenline tak bisa diperbandingkan misalnya dengan Redline, yang sangat rapat frekwensi perjalanannya. 13 menit keterlambatan di jalur Greenline artinya penumpukan penumpang yang resah, gelisah, dan khawatir terlambat. Bila di Stasiun Rawabuntu pintu kereta dibuka di kedua sisi, maka arus penumpang masuk kereta pun akan terbagi, dan lebih banyak yang bisa terangkut.
Tentu ada pertimbangan keselamatan terkait buka pintu kereta di kedua sisi. Namun kami percaya petugas PPKA bisa mengatur agar saat ada kereta berhenti di Jalur 2, tak ada kereta masuk di Jalur 1. “Mati adalah takdir,” demikian pernah terlontar dari bibir seorang petinggi di PT KCI ketika kami menyampaikan usulan-usulan perbaikan. Kami terpaksa mengamini kalimat itu, jadi berilah kami akses untuk bisa masuk kereta, agar kami tidak terlambat sampai di tempat kerja, terhindar dari berbagai sanksi: uang transport dipotong, gaji dipotong, bonus tak dapat, tunda kenaikan gaji, hingga pemecatan. Kemungkinan berbagai sanksi tersebut tak berlaku di PT KCI, karena kami melihat sangat minim rasa peduli dan empati kepada kami, kelas pekerja pemuja mesin presensi.
Hal lain yang juga ingin kami sampaikan dalam kesempatan ini adalah:
- Mohon di Stasiun Rawabuntu dibangun jembatan penyeberangan orang (JPO) atau underpass
- Mohon agar KA 1929 diberangkatkan dari Parungpanjang atau Serpong, agar kapasitasnya bisa lebih bermanfaat. Kereta yang kami dengar disediakan khusus bagi “rombongan Senayan” (entah apa maksudnya), cenderung mubazir, karena para penumpang asal Sudimara lebih memilih memaksakan diri naik KA 1925 atau 1927 yang sudah padat, ketimbang memanfaatkan KA 1929 yang berbaring manis di Sudimara sejak pukul 4 pagi.
Tindakan memaksa penumpang asal Sudimara ini membuat kami yang sudah di dalam kereta terhimpit keras “setengah mati”. Dari situlah ucapan “mati adalah takdir” dilontarkan. Sebuah ucapan penuh ketidakpedulian. - Membenahi sistem persinyalan di lintas Greenline sehingga tak perlu keberangkatan kereta menunggu kereta di depannya masuk stasiun berikut.
Sekian dari saya. Semoga di masa jabatan Ibu KRL Commuter Line Jabodetabek bisa semakin MANTJARLI dan Manusiawi.
Editor : Puji Harto